*(Artikel ini dapat juga diakses di https://www.academia.edu/7228286/PENYERBUKAN_SILANG_ANTARBUDAYA. Dalam blog ini, artikel mengalami sedikit perubahan)
Budaya Sebagai Faktor Pendorong Kemajuan
Menjelang abad ke 20 para ahli di bidang ilmu sosial mulai menarik perhatian mereka terhadap masalah Dunia Ketiga, yaitu munculnya dikotomi dan kesenjangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.[1] Dikotomi tersebut menjadi fenomena yang signifikan dalam memasuki abad ke 20 setelah Perang Dunia Kedua dan sejumlah Negara di Dunia Ketiga berhasil mencapai kemerdekaan—namun tetap tertinggal dan berada di bawah garis kemiskinan.[2] Dalam kaitan ini muncullah beragam teori untuk menjelaskan permasalah tersebut seperti imperialisme dan rasisme,[3] yang kemudian dinilai tidak memadai karena terdapat sejumlah Negara yang memiliki kasus unik sehingga berada di luar penjelasan teori tersebut. Maka bermunculan teori-teori alternatif dan perspektif baru yang berbeda-beda.[4]
Seperti dijelaskan Gunnar Myrdal
dalam Asian Drama, bahwa di tahun setelah Perang Dunia Kedua, dimensi
dunia mengalami penyusutan. Ketika bagian mana saja dari dunia kita dapat
dicapai dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, maka sedikit saja yang
tersisa dari jangkauan. Bersama dengan penyusutan dunia yang bersifat figuratif
ini muncullah sebuah minat dan perhatian baru atas takdir penduduk dunia.
Perhatian ini tertuju kepada kesenjangan, yang menjadi semakin luas pada setiap
generasi, diantara dunia kaya dan dunia miskin. Sebuah gelombang riset dan
kajian baru telah dilakukan atas Negara-negara yang belum berkembang.[5]
Sumber daya yang besar dari kita, lanjut Myrdal, dalam bidang ilmu sosial
sekarang dikerahkan bagi kajian-kajian ini.[6]
Diantara teori yang muncul dalam
kajian ini dan menjadi alternatif bagi teori-teori sebelumnya adalah tentang posisi
kebudayaan sebagai faktor yang berpengaruh atas fenomena sosial, politik dan
ekonomi. Menurut Samuel Huntington, dalam buku yang dieditorinya, Culture
Matters, tengah terjadi peningkatan di kalangan ilmuwan sosial untuk
melihat kebudayaan sebagai faktor untuk menjelaskan modernisasi, demokratisasi
politik, strategi militer, perilaku kelompok etnis, dan penyesuaian ataupun
antagonisme diantara Negara-negara.[7]
Sementara Lawrence Harrison, dalam
buku yang sama, menanggapi ketidak mampuan teori-teori yang ada untuk
menjelaskan fenomena demikian. Menurutnya “jika kolonialisme dan penjajahan
tidak memberikan penjelasan yang memuaskan atas kemiskinan dan otoritarianisme
di luar negeri (dan rasisme maupun diskriminasi juga tidak memberikan
penjelasan yang memuaskan bagi masalah minoritas), dan jika terdapat begitu
banyak pengecualian (seperti Singapura, Hong Kong, Barbados, dan Costa Rica)
atas penjelasan geografis/klimatologis, bagaimana pluralisme politik selama
setengah abad lalu bisa dijelaskan?”[8]
Menurut Harrison pula, muncul pertumbuhan
para sarjana, jurnalis, politisi dan praktisi pengembangan yang memfokuskan pada
peran nilai dan sikap sebagai fasilitator dari, atau rintangan bagi, kemajuan.
Mereka adalah pewaris intelektual dari Alexis de Tocqueville yang menyimpulkan
bahwa apa yang membuat sistem politik Amerika bekerja adalah sebuah kebudayaan
yang cocok dengan demokrasi; Max Weber yang menjelaskan kebangkitan kapitalisme
sebagai sebuah fenomena kebudayaan yang secara esensial berakar dalam agama;
dan Edward Banfield yang menerangi akar kebudayaan dari kemiskinan dan
otoritarianisme di Itali selatan, sebuah kasus yang memiliki aplikasi
universal.[9]
Studi kebudayaan dan penekanan atas
kebudayaan dalam ilmu-ilmu sosial merupakan mainstream pada tahun 1940
dan 1950. Namun masa renaisans dalam studi kebudayaan mengambil lima puluh tahun
terakhir yang begerak ke arah artikulasi sebuah paradigma baru culture-centered
mengenai perkembangan, dari kemajuan manusia.[10]
Pernyataan paling tegas dalam hal ini
adalah Daniel Patrick Moynihan, seperti dikutip Huntington, yang mengatakan
bahwa kebudayaan, dan bukan politik, yang menentukan kesuksesan sebuah
masyarakat.[11]
Kebudayaan adalah sebuah faktor signifikan dari kemampaun sebuah bangsa untuk
mencapai kemakmuran sebab kebudayaan membentuk pemikiran individu mengenai
resiko, imbalan, dan perluang. Kebudayaan juga membentuk cara individu berpikir
tentang kemajuan.[12]
Dari Peran Budaya Ke Silang Budaya (cross-cultural)
Jika budaya memiliki kedudukan yang
menentukan atas terjadinya perubahan sosial politik, maka pendukung teori ini
perlu untuk mengenal, mengidentifikasi dan melakukan perbandingan atas keragaman
budaya secara luas, mulai dari budaya yang menghambat kemajuan maupun yang
mendorong kemajuan. Hal ini berarti memasuki wilayah kajian cross-cultural yang
telah dilakukan oleh para ahli di bidang antropologi dan sosiologi.
Studi mengenai cross-cultural,
merupakan sebuah spesialisasi dalam antropologi yang menggunakan data lapangan
dari beragam masyarakat untuk menguji ruang lingkup perilaku manusia dan menguji
hipotesis tentang perilaku manusia dan budaya. Studi cross-cultural
diterapkan secara luas dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam antropologi
budaya dan psikologi. Studi ini mulai dilakukan oleh para antropolog abad ke
19 seperti Edward Burnett Tylor[13]
dan Lewis H. Morgan.[14]
Istilah cross-cultural sendiri,
silang budaya, muncul dalam ilmu sosial pada tahun 1930, sebagai pengaruh dari
Survey cross-cultural yang dilakukan oleh George Peter Murdock. Dalam
karyanya Social Structure ia menyajikan sebuah sintesis dari lima produk
ilmu sosial yang berbeda—satu tehnik riset dan empat sistem teori.[15]
Menurut Carol R. Ember dalam Cross-Cultural
Research Methods, istilah cross-cultural dapat diterapkan secara
bebas kepada sesuatu yang merujuk kepada apa pun mengenai perbandingan tentang
perbedaan-perbedaan kebudayaan.[16]
Ia juga menjelaskan bahwa riset cross-cultural tertarik kepada sebab dan
akibat dari keragaman budaya yang melintasi sebuah domain yang luas, secara
umum di seluruh dunia.[17]
Silangan Budaya: Melampaui Konflik Menuju Koeksistensi
Tidak mengherankan jika Huntington
dalam The Clash of Civilization menilai bahwa identitas budaya dan agama
merupakan sumber utama bagi konflik pasca Perang Dingin.[18]
Meskipun tidak sedikit yang keberatan dengan pendapat Huntington tersebut,
namun setidaknya budaya sebagai potensi konflik di masa mendatang memang perlu
diwaspadai.
Secara umum budaya memang terkait
dalam semua konflik sebab konflik muncul dalam hubungan diantara sesama manusia.
Cara kita menamai, membingkai, menyalahkan, dan upaya untuk menjinakkan konflik,
secara mendalam dipengaruhi oleh budaya. Karena itu, budaya lebih daripada
sebuah topik yang terkait dengan konflik dan resolusi konflik—ia merupakan
sebuah bagian integral dari semua interaksi, baik harmonis maupun konfliktual.[19]
Budaya memainkan peran sentral dalam
sebuah konflik. Sebagai contoh, konflik Israel-Palestina atau India-Pakista
atas Kashmir tidak hanya sekedar masalah territorial, batas wilayah, dan kedaulatan.
Hal itu juga tentang pengakuan, representasi dan legitimasi atas identitas dan
jalan hidup yang berbeda.[20]
Keragaman budaya memang dapat menjadi
potensi konflik. David Levinson menulis sebuah ensiklopedia Aggression and
Conflict: A Crosss-cultural Encyclopedia, yang menunjukkan bagaimana
orang melukai satu sama lain dan bagaimana orang belajar untuk hidup damai
bersama.[21] Dalam
keragaman budaya terkandung unsur perbedaan etnis, agama, bahasa, tradisi nilai
dan kepercayaan yang rentan terhadap konflik, baik karena ketakukan, kecurigaan
dan kesalah pahaman yang kemudian melahirkan sikap diskriminatif bahkan
kekerasan dan kriminalitas—seperti pembersihan etnis (ethnic cleansing)
dan peperang,[22]
baik perang fisik maupun perang budaya. Perang budaya (culture wars), ini
seperti yang terjadi di Eropa yang ketika memasuki abad ke 19, muncul
Negara-bangsa konstitusional dan demokratis yang diiringi oleh konflik intensif
antara Katolik dan kekuatan antiklerik. Puncaknya, konflik ini menyentuh hampir
semua ruang kehidupan sosial: sekolah, kontrol ruang publik, memori rakyat,
hingga simbol kebangsaan.[23]
Jonathan H. Turner mendefinisikan
konflik budaya sebagai konflik yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan nilai
budaya dan kepercayaan yang menempatkan orang pada perasaan asing satu sama
lainnya.[24]
Konflik budaya termasuk konflik yang sulit dipecahkan karena setiap kebudayaan
memiliki pandangan dan nilai yang berbeda terhadap suatu masalah, seperti
perbedaan pandangan terhadap aborsi, perbudakan, gender, dll yang menimbulkan
konflik. Dan masih banyak lagi sederetan konflik budaya seperti yang terjadi di
Cina, Jepang, Vietnam, Uni Soviet, Amerika Latin, Afrika, dst. yang mana di
masa mendatang, spektrum konflik akan melampaui perang dalam bentuk dan level yang
dalam yang membuat cara-cara konvensional tidak efektif untuk memecahkannya.[25]
Namun keragaman budaya tidak mesti mengarah
kepada konflik, bahkan sebaliknya bisa terjadi koeksistensi. Hal ini seperti
yang terjadi di wilayah semenanjung Iberia abad pertengahan dimana tiga agama
dan kebudayaan yang berbeda, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi dapat hidup
berdampingan. Mereka dapat saling ber-koeksistensi dan melakukan hubungan
politik, ekonomi dan kebudayaan.[26]
Ini telah dimulai sejak kaum Muslim mengusai Spanyol mulai abad ke 8 M.[27]
Meskipun masa-masa indah harmonis ini harus berakhir, namun setidaknya hal ini
dapat menjadi bukti bahwa koeksistensi bisa terjadi dalam keragaman budaya.
Silang Budaya di Era Globalisasi: Belajar dari Keunggulan Budaya Cina dan Taiwan
Dalam suatu dunia yang saling
terhubung dan tersatukan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, atau
disebut era globaliasi, maka semua bentuk keragaman budaya akan saling bertemu
dan berinteraksi satu sama lain. Hal ini akan menciptakan konsekuensi yang
berbeda. Peter L. Berger, seperti dikutip Hsin-Huang Michael Hsiao,
memformulasikan sebuah tipologi dengan empat kemungkinan konsekuensi dari
interseksi dari kekuatan globalisasi dan budaya indigenus, yaitu:[28]
1. Penggantian
kebudayaan lokal oleh kebudayaan yang terglobalisasi
2. Koeksistensi
kebudayaan global dan lokal tanpa ada persatuan yang signifikansi dari keduanya
3. Sintesis
dari kebudayaan global universal dengan kebudayaan indigenus partikular
4. Penolakan
kebudayaan global oleh reaksi lokal yang kuat
Kita dapat melihat contoh yang
berbeda dari masing-masing ke empat tipologi di atas. Di sini penulis ingin
membatasi kepada kasus Cina dan Taiwan sebagai contoh.
Kebangkitan-kembali Cina sebagai
sebuah pengendali ekonomi dan politik global menjadi salah satu momen yang
menentukan dalam sejarah dunia. Sementara itu terdapat pertumbuhan literatur
yang mencoba menganalisis konsekuensi kebangkitan Cina bagi perkembangan di
tempat lain, mayoritas darinya menguji dampak perdagangan, investasi,
geopolitik Cina, dan lainnya atas Negara tertentu atau dunia.[29]
Berlangsungnya perkembangan ekonomi
yang sangat cepat di Cina Daratan betul-betul merupakan sebuah keajaiban
ekonomi dan juga merupakan sebuah mesin yang sangat kuat bagi pertumbuhan
kemajuan ekonomi global. Dari semua industri utama di Cina Daratan, industri
elektronik adalah yang berkembang paling cepat, dan telah menjadi pilar bagi
ekonomi Cina Daratan. Menurut statistik dari Informasi Kementrian, pada tahun
2002, industri informasi elektronik Cina Daratan mencapai nilai output 1536.167
milyar RMB, dengan nilai tambah 226.357 milyar RMB dan income penjualan 1120.347
milyar RMB, menempatkan Cina Daratan disamping Amerika dan Jepang sebagai produsen
utama ketiga dari produk IT di seluruh dunia.[30]
Dilihat dari ekspornya, sekarang Cina
merupakan produsen elektronik dan ICT terbesar di dunia, dan dalam hal produk dengan
skill tinggi dan teknologi-intensif, prestasi Cina mulai setara dengan Korea
Selatan.[31]
Di sisi lain kemajuan sains dan
teknologi Cina semakin menunjukkan kekuatannya. Menurut Prof. Dr. Ing.
Yongxiang Lu, President of the Chinese Academy of Science, modernisasi
telah dipandang sebagai sebuah revolusi transformatif dalam sejarah modernisasi
umat manusia. Demikianlah, Chinese Academy of Sciences (CAS) memutuskan
untuk memberikan prioritas tertinggi kepada jalan riset sains dan teknologi
bagi area priorotas dalam proses modernisasi Cina.[32]
Sementara itu dari Taiwan kita dapat
belajar bagaimana budaya global dan budaya lokal bisa saling berkoeksistensi
dan mendorong kemajuan, seperti halnya dalam budaya ekonomi. Para kapitalis
Taiwan, dengan perdagangan internasional dan investasi asingnya yang signifikan
sejak tahun 1960, telah mengintegrasikan ekonomi Taiwan ke dalam pasar dunia.
Diantara sektor yang berbeda dari perusahaan bisnis Taiwan, sebuah persentase
yang tinggi dalam satu cara atau lainnya dihubungkan dengan masyarakat bisnis
global. Lebih dari tiga dekade terakhir, hubungan mereka dengan bisnis
internasional dan para CEO, manajer dan teknisi berjalan intens. Belajar dan
bertukar diantara masing-masing pola kultur-bisnis antara pengusaha Taiwan
dengan perusahaan dan investor asing berjalan secara konstan, walaupun dalam
banyak kasus penguasaha Taiwanlah yang belajar dari rekan Amerika dan Jepang,
khususnya dalam dekade sebelum tahun 1990. Di saat yang sama banyak dari para
pengusaha internasional yang telah mendirikan jaringan korporat di Taiwan
belajar mengadaptasikan praktek bisnis mereka sesuai dengan kondisi lokal.[33]
Adalah juga menarik untuk dicatat
bahwa banyak dari manajer lokal di Taiwan yang bekerja di firma internasional
telah mengembangkan pola perilaku ganda. Di tempat kerja, umumnya mereka
berperilaku persis seperti kelas manajer yang terglobalisasi lainnya; di
masyarakat lokal dimana firma asing berada, mereka tidak hanya mengubah gaya
Inggris menjadi Minnan dan Hakka lokal, mereka juga mengubah mind-set
mereka. Bagi kebanyakan mereka, melakukan bisnis atau menjalankan perusahaan
adalah satu hal, namun terdapat aspek kehidupan lainnya, dan bisnis bukanlah
segalanya. Untuk bertindak seperti seorang pengusaha atau manajer internasional
adalah sebuah perilaku yang dipelajari bagi tempat kerja—sebuah kode perilaku
yang diadopsi yang merupakan sebuah “penambahan” bukannya “penggantian” atas
apa yang telah dipelajari mengenai hidup dari kebudayaan lokal.[34]
Silang Budaya: Mengambil yang Terbaik untuk Kemajuan
Sebagai sebuah sistem pemikiran dan
nilai, serta perilaku kolektif (collective behavior) kebudayaan memiliki
kedudukan sentral dalam menentukan kehidupan sosial, politik dan ekonomi—dan demikian
juga sebaliknya. Hubungan yang saling
mempengaruhi ini merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks dan tidak bisa
disederhanakan. Terlebih lagi dengan adanya keragaman budaya yang berbeda dari
setiap bangsa di belahan dunia ini, sehingga masing-masing memiliki kasus yang unik,
berbeda dan khas.
Dalam hal ini—sesuai dengan uraian di
atas—ada beberapa unsur penting yang perlu di garis bawahi, yaitu: Pertama, jika
budaya memiliki peranan yang menentukan maka sangat penting bagi suatu bangsa
untuk merevitalisasi peran budaya untuk mendorong kemajuan. Sebab dalam
kenyataannya tidak semua budaya cocok untuk mendorong kemajuan, sebagian malah
menjadi penghambat kemajuan, seperti yang ditunjukkan oleh Gunnar Myrdal yang
menilai faktor kemiskinan Negara-negara Asia diantaranya adalah karena latar
belakang budaya mereka—seperti sikap irasional massa rakyat.
Kedua, keragaman budaya tidak semestinya
mempertajam konflik dan pertentangan, tetapi perlu diarahkan kepada suasana dialog,
kerjasama dan koeksistensi. Keragaman budaya justru merupakan peluang untuk
terus belajar, bukan sebagai medan konflik. Meskipun potensi konflik tidak bisa
dihilangkan sama sekali, namun setidaknya bisa diperkecil. Jangan sampai
menjadi konflik berskala global seperti yang diprediksi oleh Huntington dalam The
Clash of Civilizations.
Ketiga, persilangan budaya merupakan sebuah
peluang untuk saling belajar dan menyerap keungulan-keunggulan dari berbagai
budaya yang berbeda. Jika kita belajar dari sejarah maka akan nampak bahwa
hampir semua peradaban besar yang pernah muncul ke panggung dunia tidak pernah
lepas dari “pinjam-meminjam” dengan berbagai peradaban lainnya yang hidup sezaman.
Daftar Pustaka
Berger, Peter L. & Sameul P. Huntington (ed.), Many
Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, (New York:
Oxford University Press, 2002).
Blank, Stephen J. (et.al.), Conflict, Culture, and
History: Regional Dimensions, (Alabama: Air University Press, 1993).
Chen-Min Hsu, Wei-Gui Zhang, Leslie Lok, The
Business and Investment Environtment in Taiwan and Mainland China: A Focus on
the IT and High-Tech Electronic Industries, (Singapore: World Scientific
Publishing Co. Pte. Ltd., 2007).
Clark, Christopher & Wolfram Kaiser (ed.), Culture
Wars: Secular-Catholic Conflict in Nineteenth-Century Europe, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000).
Collins, Roger & Anthony Goodman (ed.), Medieval
Spain: Culture, Conflict, and Coexistence-Studies in Honour of Angus Goodman, (Hampshire
& New York: Palgrave Macmillan, 2002).
Ember, Carol L. & Melvin Ember, Cross-Cultural
Research Methods, (Lanham: AltamMira Press, 2009)
Ember, Melvin & Carol R. Ember (ed.), Coutries
and Their Cultures, (New York: Macmillan Reference USA, 2001).
Ember, Melvin, Carol R. Ember & Ian Skoggard
(ed.), Encyclopedia of World Cultures, (New York: Macmillan Reference
USA, 2002).
Fukuyama, Francis (ed.), Falling Behind: Explaining
the Development Gap Between Latin America and the United States, (New York:
Oxford University Press, 2008).
Hallwas, John E., Cultures in Conflict: A
Documentary History of the Mormon War in Illinois, (Utah: Utah State
University Press, 1995).
Harrison, Lawrence E. & Samuel P. Huntigton (Ed.),
Culture Matters: How Values Shape Human Progress, (New York: Basic Books,
2000)
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations
and the Remaking of World Order, (New York: Simon & Schuster, 1996)
Landes, David S., The Wealth and Poverty of
Nations: Why Some Are So Rich and Some So Poor, (New York: W.W. Norton
& Company, 1998).
Lebaron, Michelle & Venashri Pillay, Conflict
Across Cultures: A Unique Experiences of Bridging Differences, (Boston:
Intercultural Press, 2006).
Levinson, David, Aggression and Conflict: A
Cross-cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO, Inc.,
1994).
----------------------, Human Environments: A
Cross-cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc.,
1995).
----------------------, Ethnic Relations: A
Cross-Cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc.,
1995).
Morgan, Lewis H., Ancient Society: Research in the
Lines of Human Progress from Savagery through Barbarism to Civilization, (Chicago:
Charles H. Kerr & Company, 1977).
Myrdal, Gunnar, Asian Drama: An Inquiry into the
Poverty of Nations, (Pelican Books, 1977).
Murdock, George Peter, Social Structure, (New
York: The Macmillan Company, 1949).
Nicolle, David & Angus McBride, The Moors: The
Islamic West 7th – 15th Centuries AD, (Oxford: Osprey
Publishing, 2001).
Paulino, Amelia U. Santos & Guanghua Wan (ed.), The
Rise of China and India: Impacts, Propects and Implications, (New York:
Palgrave Macmillan, 2010)
Roxborough, Ian, Theories of Underdevelopment, (New
Jersey: Humanities Press, 1979).
Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations, (Hampshire: Harriman House, 2007).
Spoor, Max (ed.), Globalisation, Poverty and
Conflict: A Critical “Development” Reader, (New York: Kluwer Academic
Publishers, 2004).
Tylor, Edward B., Anthropology: An Introduction to
the Study of Man and Civilization, (New York: D. Appleton & Company,
1896)
Touraine, Alain, The Post-Industrial Society,
Tomorrow’s Social History: Classes, Conflicts and Culture in the Programmed
Society, (New York: Random House, 1971)
Turner, Jonathan H., Sociology, (New York:
Prentice Hall, 2005)
Woodworth, Steven E., Culture in Conflict: The
American Civil War, (Westport, Connecticut: The Greenwood Press, 2000).
Yongxiang, Lu (ed.), Science & Technology in
China: A Roadmap to 2050: Strategic General Report of the Chinese Academy of
Sciences, (Science Press Beijing and Springer-Verlag Berlin Heidelberg,
2010).
[1]
Alain Touraine pernah menjelaskan hal ini dalam konteks masyarakat pasca
Industri, yaitu suatu masyarakat yang lebih “dikendalikan” oleh pertumbuhan
ekonomi daripada yang lainnya. Dalam masyarakat seperti ini terjadi konflik
sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konflik baru ini terjadi antara
pembuatan-keputusan struktur ekonomi dan politik dengan mereka yang
perananannya tergantung. Atau dapat juga disebut konflik antara segmen
masyarakat yang menjadi sentral dan mereka yang feriferal atau marjinal. Ini
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan oposisi antara bangsa
mengalami industrialisasi dan masyarakat Dunia Ketiga. Alain Touraine, The
Post-Industrial Society, Tomorrow’s Social History: Classes, Conflicts and
Culture in the Programmed Society, (New York: Random House, 1971), h.9.
[2]
Dalam buku Globalization, Poverty and Conflict terangkum tulisan-tulisan
mengenai evolusi perdebatan dan paradigma mengenai perubahan-perubahan dan
transformasi sosial yang terjadi selama setengah-abad lalu. Menawarkan
pemikiran kritis atas teori dan praktek mengenai kebijakan pengembangan
sebagaimana terjadi di masa kini dari globalisasi yang meningkat cepat. Dalam
buku ini Ssetiap bab memfokuskan pada pengurangan kemiskinan dan pembangunan
lembaga demokratis di setiap tingkatan. Max Spoor (ed.), Globalisation,
Poverty and Conflict: A Critical “Development” Reader, (New York: Kluwer
Academic Publishers, 2004).
[4]
MIsalnya buku Falling Behind yanf dieditori Fukuyama, mengambil kasus
kesenjangan antara Amerika Serikat dan Amerika Latin. Buku ini memang tidak
menyajikan sebuah perspektif khusus, tetapi mengkajinya secara luas dari
perspektif sejarah, sosial, politik dan ekonomi. Lihat, Francis Fukuyama (ed.),
Falling Behind: Explaining the Development Gap Between Latin America and the
United States, (New York: Oxford University Press, 2008).
[5]
Gunnar Myrdal, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, (Pelican
Books, 1977), h.3.
[7]
Samel Huntington, Cultures Count, dalam Lawrence E. Harrison &
Samuel P. Huntigton (Ed.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress,
(New York: Basic Books, 2000), h.xiv.
[8]
Ibid., h. xxi
[9]
Ibid. Kiranya tulisan Adam Smith dalam The Wealth of Nations,
juga bisa dikategorikan dalam perspektif ini. Dalam karya monumentalnya itu
Smith mempertanyakan bagaimana meningkatkan kemakmuran suatu bangsa dan
bagaimana meningkatkan kekayaan manusia di seluruh dunia. Menurutnya hal itu
adalah karena kebebasan untuk berdagang dan bersaing yang mengangkat
kepentingan individu dan juga menghasilkan kemakmuran bangsa. Lihat, Adam
Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (Hampshire:
Harriman House, 2007).
[10]
Samel Huntington, Cultures Count, op.cit., h.xxi-xxii.
[11]
Ibid., h.xiv.
[12]
Stace Lindsay, Culture, Mental Models, and National Prosperity, dalam
Lawrence E. Harrison & Samuel P. Huntigton (Ed.), Culture Matters, op.cit.,
h.282. Sementara itu Landes dalam The Wealth and Poverty of Nations berupaya
untuk memahami bagaimana budaya dunia membawa kepada pencapaian kesuksesan—atau
memperlambat—ekonomi dan militer. David S. Landes, The Wealth and Poverty of
Nations: Why Some are So Rich and Some So Poor, (New York: W.W. Norton
& Company, 1998).
[13]
E.B. Tylor menggunakan pendekatan cross-cultural dalam kajian
antropologinya. Ia menulis: “Siswa yang hendak memahami bagaimana umat manusia
hadir seperti adanya, dan hidup sebagaimana yang mereka lakukan, maka yang
pertama harus diketahui dengan jelas adalah apakah manusia merupakan pendatang
baru di bumi, atau penduduk lama. Apakah mereka muncul dengan keragaman ras dan
jalan hidup (way of life) yang siap pakai, atau hal ini dibentuk lama,
tumbuh perlahan dalam zaman? Dalam
rangka menjawab pertanyaan ini, pekerjaan kita yang pertama akan mengambil
sebuah survey yang segera atas keragaman manusia, bahasa mereka, peradaban
mereka, dan peninggalan kuno mereka, untuk melihat bukti apa yang kemudian
dimiliki zaman manusia di dunia.” Edward
B. Tylor, Anthropology: An Introduction to the Study of Man and
Civilization, (New York: D. Appleton & Company, 1896), h.1.
[14]
Morgan menulis buku Ancient Society yang merupakan kajian luas atas
berbagai peradaban kuno mengenai pertumbuhan intelegensi melalui invensi dan
penemuan, pertumbuhan ide mengenai pemerintahan, pertumbuhan ide mengenai
keluarga, dan pertumbuhan ide mengenai kepemilikan, Lihat Lewis H. Morgan, Ancient
Society: Research in the Lines of Human Progress from Savagery through
Barbarism to Civilization, (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1977).
[15]
George Peter Murdock, Social Structure, (New York: The Macmillan
Company, 1949), h. vii.
[16]
Carol L. Ember & Melvin Ember, Cross-Cultural Research Methods, (Lanham:
AltamMira Press, 2009) , h.2.
[17]
Carol L. Ember & Melvin Ember, Cross-Cultural Research Methods , op.cit.,
h.3. Studi cross-cultural menghendaki pengenalan terhadap keragaman budaya.
Hal ini mendorong kedua penulis tersebut untuk memberikan sumbangan berharga
bagi studi kebudayaan melalui ensiklopedia yang di editorinya ini, Encyclopedia
of World Culture, yang terdiri dari 10 volume. LIhat Melvin Ember, Carol R.
Ember & Ian Skoggard (ed.), Encyclopedia of World Cultures, (New
York: Macmillan Reference USA, 2002). Mereka juga mengeditori Coutries and
Their Cultures, yang terdiri atas 4 volume. LIhat, Melvin Ember & Carol
R. Ember (ed.), Coutries and Their Cultures, (New York: Macmillan
Reference USA, 2001). Sementara itu David Levinson menulis Human
Environments: A Cross-cultural Encyclopedia, untuk mengetahui keragaman
lingkungan dimana manusia hidup yang tentunya berhubungan dengan keragaman
budaya. Lihat, David Levinson, Human Environments: A Cross-cultural
Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc., 1995). Ia juga
menulis Ethnic Relations: A Cross-cultural Encyclopedia. Dalam kata
pengantarnya ia menulis bahwa relasi etnik adalah sebuah topik yang banyak
mendapat perhatian sekarang ini, dank arena konflik etnis sekarang ini
dipandang sebagai bentuk utama (umum) dari konflik kekerasan di seluruh dunia,
sehinga sebagian berpendapat bahwa relasi etnik adalah isu yang paling penting
yang dihadapi oleh masyarakat dunia. LIhat, David Lavinson, Ethnic
Relations: A Cross-Cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California:
ABC-CLIO Inc., 1995)., h.vii.
[18]
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World
Order, (New York: Simon & Schuster, 1996)
[19]
Michelle Lebaron & Venashri Pillay, Conflict Across Cultures: A Unique
Experiences of Bridging Differences, (Boston: Intercultural Press, 2006),
h.16.
[21]
David Levinson, Aggression and Conflict: A Cross-cultural Encyclopedia, (Santa
Barbara, California: ABC-CLIO, Inc., 1994)., h.vii.
[22]
Seperti perang sipil Amerika yang terjadi, antara lain, karena perbedaan
pandangan terhadap masalah perbudakan. Lihat, Steven E. Woodworth, Culture
in Conflict: The American Civil War, (Westport, Connecticut: The Greenwood
Press, 2000). Ataupun perang Mormon. LIhat, John E. Hallwas, Cultures in
Conflict: A Documentary History of the Mormon War in Illinois, (Utah: Utah
State University Press, 1995).
[23]
Lihat, Christopher Clark & Wolfram Kaiser (ed.), Culture Wars:
Secular-Catholic Conflict in Nineteenth-Century Europe, (Cambridge:
Cambridge University Press, 2000).
[24]
Jonathan H. Turner, Sociology, (Prentice Hall, 2005), h.87.
[25]
Konflik regional dengan perspektif budaya ini dibahas secara khusus dalam Stephen
J. Blank (et.al.), Conflict, Culture, and History: Regional Dimensions, (Alabama:
Air University Press, 1993).
[26]
Lihat, Roger Collins & Anthony Goodman (ed.), Medieval Spain: Culture,
Conflict, and Coexistence-Studies in Honour of Angus Goodman, (Hampshire
& New York: Palgrave Macmillan, 2002).
[27]
Lihat, David Nicolle & Angus McBride, The Moors: The Islamic West 7th
– 15th Centuries AD, (Oxford: Osprey Publishing, 2001).
[28]
Hsin-Huang Michael Hsiao, Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization
and Localization in Contemporary Taiwan, dalam Peter L. Berger, Sameul P.
Huntington (ed.), Many Globalizations: Cultural Diversity in the
Contemporary World, (New York: Oxford University Press, 2002), h.48.
[29]
Jeffrey Henderson, Globalization and the Developing World: The Difference
that China Makes, dalam Amelia U.
Santos-Paulino & Guanghua Wan (ed.), The Rise of China and India:
Impacts, Propects and Implications, (New York: Palgrave Macmillan, 2010),
h.3
[30]
Chen-Min Hsu, Wei-Gui Zhang, Leslie Lok, The Business and Investment
Environtment in Taiwan and Mainland China: A Focus on the IT and High-Tech
Electronic Industries, (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte.
Ltd., 2007), h.73.
[31]
Jeffrey Henderson, op.cit., h.10.
[32]
Yongxiang Lu (ed.), Science & Technology in China: A Roadmap to 2050:
Strategic General Report of the Chinese Academy of Sciences, (Science Press
Beijing and Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2010), h.vii.
[33]
Hsin-Huang Michael Hsiao, opc.it., h.51.
[34]
Ibid., h.52.
Salam kenal. Kebetulan, saya sedang meminati buku ini. Dimana kita-kira bisa saya dapatkan buku ini secara online? Terima kasih tulisannya bermanfaat sekali.
ReplyDeleteSalam juga..Untuk bukunya sudah terbit sekitar pertengahan April ini. Diterbitkan oleh PT Elexmedia Komputindo dan tersedia di toko buku Gramedia. untuk versi online mungkin di situs Gramedia...mungkin...
Delete