Saturday, April 4, 2015

Penyerbukan Silang Antarbudaya: Dari Keragaman Budaya Untuk Mendorong Kemajuan Bangsa


*(Artikel ini dapat juga diakses di https://www.academia.edu/7228286/PENYERBUKAN_SILANG_ANTARBUDAYA. Dalam blog  ini, artikel mengalami sedikit perubahan)


Budaya Sebagai Faktor Pendorong Kemajuan


Menjelang abad ke 20 para ahli di bidang ilmu sosial mulai menarik perhatian mereka terhadap masalah Dunia Ketiga, yaitu munculnya dikotomi dan kesenjangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang.[1] Dikotomi tersebut menjadi fenomena yang signifikan dalam memasuki abad ke 20 setelah Perang Dunia Kedua dan sejumlah Negara di Dunia Ketiga berhasil mencapai kemerdekaan—namun tetap tertinggal dan berada di bawah garis kemiskinan.[2] Dalam kaitan ini muncullah beragam teori untuk menjelaskan permasalah tersebut seperti imperialisme dan rasisme,[3] yang kemudian dinilai tidak memadai karena terdapat sejumlah Negara yang memiliki kasus unik sehingga berada di luar penjelasan teori tersebut. Maka bermunculan teori-teori alternatif dan perspektif baru yang berbeda-beda.[4] 

Seperti dijelaskan Gunnar Myrdal dalam Asian Drama, bahwa di tahun setelah Perang Dunia Kedua, dimensi dunia mengalami penyusutan. Ketika bagian mana saja dari dunia kita dapat dicapai dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, maka sedikit saja yang tersisa dari jangkauan. Bersama dengan penyusutan dunia yang bersifat figuratif ini muncullah sebuah minat dan perhatian baru atas takdir penduduk dunia. Perhatian ini tertuju kepada kesenjangan, yang menjadi semakin luas pada setiap generasi, diantara dunia kaya dan dunia miskin. Sebuah gelombang riset dan kajian baru telah dilakukan atas Negara-negara yang belum berkembang.[5] Sumber daya yang besar dari kita, lanjut Myrdal, dalam bidang ilmu sosial sekarang dikerahkan bagi kajian-kajian ini.[6] 

Diantara teori yang muncul dalam kajian ini dan menjadi alternatif bagi teori-teori sebelumnya adalah tentang posisi kebudayaan sebagai faktor yang berpengaruh atas fenomena sosial, politik dan ekonomi. Menurut Samuel Huntington, dalam buku yang dieditorinya, Culture Matters, tengah terjadi peningkatan di kalangan ilmuwan sosial untuk melihat kebudayaan sebagai faktor untuk menjelaskan modernisasi, demokratisasi politik, strategi militer, perilaku kelompok etnis, dan penyesuaian ataupun antagonisme diantara Negara-negara.[7] 


Sementara Lawrence Harrison, dalam buku yang sama, menanggapi ketidak mampuan teori-teori yang ada untuk menjelaskan fenomena demikian. Menurutnya “jika kolonialisme dan penjajahan tidak memberikan penjelasan yang memuaskan atas kemiskinan dan otoritarianisme di luar negeri (dan rasisme maupun diskriminasi juga tidak memberikan penjelasan yang memuaskan bagi masalah minoritas), dan jika terdapat begitu banyak pengecualian (seperti Singapura, Hong Kong, Barbados, dan Costa Rica) atas penjelasan geografis/klimatologis, bagaimana pluralisme politik selama setengah abad lalu bisa dijelaskan?”[8] 

Menurut Harrison pula, muncul pertumbuhan para sarjana, jurnalis, politisi dan praktisi pengembangan yang memfokuskan pada peran nilai dan sikap sebagai fasilitator dari, atau rintangan bagi, kemajuan. Mereka adalah pewaris intelektual dari Alexis de Tocqueville yang menyimpulkan bahwa apa yang membuat sistem politik Amerika bekerja adalah sebuah kebudayaan yang cocok dengan demokrasi; Max Weber yang menjelaskan kebangkitan kapitalisme sebagai sebuah fenomena kebudayaan yang secara esensial berakar dalam agama; dan Edward Banfield yang menerangi akar kebudayaan dari kemiskinan dan otoritarianisme di Itali selatan, sebuah kasus yang memiliki aplikasi universal.[9] 

Studi kebudayaan dan penekanan atas kebudayaan dalam ilmu-ilmu sosial merupakan mainstream pada tahun 1940 dan 1950. Namun masa renaisans dalam studi kebudayaan mengambil lima puluh tahun terakhir yang begerak ke arah artikulasi sebuah paradigma baru culture-centered mengenai perkembangan, dari kemajuan manusia.[10] 

Pernyataan paling tegas dalam hal ini adalah Daniel Patrick Moynihan, seperti dikutip Huntington, yang mengatakan bahwa kebudayaan, dan bukan politik, yang menentukan kesuksesan sebuah masyarakat.[11] Kebudayaan adalah sebuah faktor signifikan dari kemampaun sebuah bangsa untuk mencapai kemakmuran sebab kebudayaan membentuk pemikiran individu mengenai resiko, imbalan, dan perluang. Kebudayaan juga membentuk cara individu berpikir tentang kemajuan.[12] 


Dari Peran Budaya Ke Silang Budaya (cross-cultural) 

Jika budaya memiliki kedudukan yang menentukan atas terjadinya perubahan sosial politik, maka pendukung teori ini perlu untuk mengenal, mengidentifikasi dan melakukan perbandingan atas keragaman budaya secara luas, mulai dari budaya yang menghambat kemajuan maupun yang mendorong kemajuan. Hal ini berarti memasuki wilayah kajian cross-cultural yang telah dilakukan oleh para ahli di bidang antropologi dan sosiologi.  

Studi mengenai cross-cultural, merupakan sebuah spesialisasi dalam antropologi yang menggunakan data lapangan dari beragam masyarakat untuk menguji ruang lingkup perilaku manusia dan menguji hipotesis tentang perilaku manusia dan budaya. Studi cross-cultural diterapkan secara luas dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam antropologi budaya dan psikologi. Studi ini mulai dilakukan oleh para antropolog abad ke 19  seperti Edward Burnett Tylor[13] dan Lewis H. Morgan.[14] 

Istilah cross-cultural sendiri, silang budaya, muncul dalam ilmu sosial pada tahun 1930, sebagai pengaruh dari Survey cross-cultural yang dilakukan oleh George Peter Murdock. Dalam karyanya Social Structure ia menyajikan sebuah sintesis dari lima produk ilmu sosial yang berbeda—satu tehnik riset dan empat sistem teori.[15] 

Menurut Carol R. Ember dalam Cross-Cultural Research Methods, istilah cross-cultural dapat diterapkan secara bebas kepada sesuatu yang merujuk kepada apa pun mengenai perbandingan tentang perbedaan-perbedaan kebudayaan.[16] Ia juga menjelaskan bahwa riset cross-cultural tertarik kepada sebab dan akibat dari keragaman budaya yang melintasi sebuah domain yang luas, secara umum di seluruh dunia.[17]


Silangan Budaya: Melampaui Konflik Menuju Koeksistensi 

Tidak mengherankan jika Huntington dalam The Clash of Civilization menilai bahwa identitas budaya dan agama merupakan sumber utama bagi konflik pasca Perang Dingin.[18] Meskipun tidak sedikit yang keberatan dengan pendapat Huntington tersebut, namun setidaknya budaya sebagai potensi konflik di masa mendatang memang perlu diwaspadai.

Secara umum budaya memang terkait dalam semua konflik sebab konflik muncul dalam hubungan diantara sesama manusia. Cara kita menamai, membingkai, menyalahkan, dan upaya untuk menjinakkan konflik, secara mendalam dipengaruhi oleh budaya. Karena itu, budaya lebih daripada sebuah topik yang terkait dengan konflik dan resolusi konflik—ia merupakan sebuah bagian integral dari semua interaksi, baik harmonis maupun konfliktual.[19]

Budaya memainkan peran sentral dalam sebuah konflik. Sebagai contoh, konflik Israel-Palestina atau India-Pakista atas Kashmir tidak hanya sekedar masalah territorial, batas wilayah, dan kedaulatan. Hal itu juga tentang pengakuan, representasi dan legitimasi atas identitas dan jalan hidup yang berbeda.[20]

Keragaman budaya memang dapat menjadi potensi konflik. David Levinson menulis sebuah ensiklopedia Aggression and Conflict: A Crosss-cultural Encyclopedia, yang menunjukkan bagaimana orang melukai satu sama lain dan bagaimana orang belajar untuk hidup damai bersama.[21] Dalam keragaman budaya terkandung unsur perbedaan etnis, agama, bahasa, tradisi nilai dan kepercayaan yang rentan terhadap konflik, baik karena ketakukan, kecurigaan dan kesalah pahaman yang kemudian melahirkan sikap diskriminatif bahkan kekerasan dan kriminalitas—seperti pembersihan etnis (ethnic cleansing) dan peperang,[22] baik perang fisik maupun perang budaya. Perang budaya (culture wars), ini seperti yang terjadi di Eropa yang ketika memasuki abad ke 19, muncul Negara-bangsa konstitusional dan demokratis yang diiringi oleh konflik intensif antara Katolik dan kekuatan antiklerik. Puncaknya, konflik ini menyentuh hampir semua ruang kehidupan sosial: sekolah, kontrol ruang publik, memori rakyat, hingga simbol kebangsaan.[23]

Jonathan H. Turner mendefinisikan konflik budaya sebagai konflik yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan nilai budaya dan kepercayaan yang menempatkan orang pada perasaan asing satu sama lainnya.[24] Konflik budaya termasuk konflik yang sulit dipecahkan karena setiap kebudayaan memiliki pandangan dan nilai yang berbeda terhadap suatu masalah, seperti perbedaan pandangan terhadap aborsi, perbudakan, gender, dll yang menimbulkan konflik. Dan masih banyak lagi sederetan konflik budaya seperti yang terjadi di Cina, Jepang, Vietnam, Uni Soviet, Amerika Latin, Afrika, dst. yang mana di masa mendatang, spektrum konflik akan melampaui perang dalam bentuk dan level yang dalam yang membuat cara-cara konvensional tidak efektif untuk memecahkannya.[25]

 Namun keragaman budaya tidak mesti mengarah kepada konflik, bahkan sebaliknya bisa terjadi koeksistensi. Hal ini seperti yang terjadi di wilayah semenanjung Iberia abad pertengahan dimana tiga agama dan kebudayaan yang berbeda, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi dapat hidup berdampingan. Mereka dapat saling ber-koeksistensi dan melakukan hubungan politik, ekonomi dan kebudayaan.[26] Ini telah dimulai sejak kaum Muslim mengusai Spanyol mulai abad ke 8 M.[27] Meskipun masa-masa indah harmonis ini harus berakhir, namun setidaknya hal ini dapat menjadi bukti bahwa koeksistensi bisa terjadi dalam keragaman budaya.


Silang Budaya di Era Globalisasi: Belajar dari Keunggulan Budaya Cina dan Taiwan 

Dalam suatu dunia yang saling terhubung dan tersatukan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, atau disebut era globaliasi, maka semua bentuk keragaman budaya akan saling bertemu dan berinteraksi satu sama lain. Hal ini akan menciptakan konsekuensi yang berbeda. Peter L. Berger, seperti dikutip Hsin-Huang Michael Hsiao, memformulasikan sebuah tipologi dengan empat kemungkinan konsekuensi dari interseksi dari kekuatan globalisasi dan budaya indigenus, yaitu:[28]

1.      Penggantian kebudayaan lokal oleh kebudayaan yang terglobalisasi
2.      Koeksistensi kebudayaan global dan lokal tanpa ada persatuan yang signifikansi  dari keduanya
3.      Sintesis dari kebudayaan global universal dengan kebudayaan indigenus partikular
4.      Penolakan kebudayaan global oleh reaksi lokal yang kuat

Kita dapat melihat contoh yang berbeda dari masing-masing ke empat tipologi di atas. Di sini penulis ingin membatasi kepada kasus Cina dan Taiwan sebagai contoh.

Kebangkitan-kembali Cina sebagai sebuah pengendali ekonomi dan politik global menjadi salah satu momen yang menentukan dalam sejarah dunia. Sementara itu terdapat pertumbuhan literatur yang mencoba menganalisis konsekuensi kebangkitan Cina bagi perkembangan di tempat lain, mayoritas darinya menguji dampak perdagangan, investasi, geopolitik Cina, dan lainnya atas Negara tertentu atau dunia.[29]

Berlangsungnya perkembangan ekonomi yang sangat cepat di Cina Daratan betul-betul merupakan sebuah keajaiban ekonomi dan juga merupakan sebuah mesin yang sangat kuat bagi pertumbuhan kemajuan ekonomi global. Dari semua industri utama di Cina Daratan, industri elektronik adalah yang berkembang paling cepat, dan telah menjadi pilar bagi ekonomi Cina Daratan. Menurut statistik dari Informasi Kementrian, pada tahun 2002, industri informasi elektronik Cina Daratan mencapai nilai output 1536.167 milyar RMB, dengan nilai tambah 226.357 milyar RMB dan income penjualan 1120.347 milyar RMB, menempatkan Cina Daratan disamping Amerika dan Jepang sebagai produsen utama ketiga dari produk IT di seluruh dunia.[30]

Dilihat dari ekspornya, sekarang Cina merupakan produsen elektronik dan ICT terbesar di dunia, dan dalam hal produk dengan skill tinggi dan teknologi-intensif, prestasi Cina mulai setara dengan Korea Selatan.[31]

Di sisi lain kemajuan sains dan teknologi Cina semakin menunjukkan kekuatannya. Menurut Prof. Dr. Ing. Yongxiang Lu, President of the Chinese Academy of Science, modernisasi telah dipandang sebagai sebuah revolusi transformatif dalam sejarah modernisasi umat manusia. Demikianlah, Chinese Academy of Sciences (CAS) memutuskan untuk memberikan prioritas tertinggi kepada jalan riset sains dan teknologi bagi area priorotas dalam proses modernisasi Cina.[32]

Sementara itu dari Taiwan kita dapat belajar bagaimana budaya global dan budaya lokal bisa saling berkoeksistensi dan mendorong kemajuan, seperti halnya dalam budaya ekonomi. Para kapitalis Taiwan, dengan perdagangan internasional dan investasi asingnya yang signifikan sejak tahun 1960, telah mengintegrasikan ekonomi Taiwan ke dalam pasar dunia. Diantara sektor yang berbeda dari perusahaan bisnis Taiwan, sebuah persentase yang tinggi dalam satu cara atau lainnya dihubungkan dengan masyarakat bisnis global. Lebih dari tiga dekade terakhir, hubungan mereka dengan bisnis internasional dan para CEO, manajer dan teknisi berjalan intens. Belajar dan bertukar diantara masing-masing pola kultur-bisnis antara pengusaha Taiwan dengan perusahaan dan investor asing berjalan secara konstan, walaupun dalam banyak kasus penguasaha Taiwanlah yang belajar dari rekan Amerika dan Jepang, khususnya dalam dekade sebelum tahun 1990. Di saat yang sama banyak dari para pengusaha internasional yang telah mendirikan jaringan korporat di Taiwan belajar mengadaptasikan praktek bisnis mereka sesuai dengan kondisi lokal.[33]

Adalah juga menarik untuk dicatat bahwa banyak dari manajer lokal di Taiwan yang bekerja di firma internasional telah mengembangkan pola perilaku ganda. Di tempat kerja, umumnya mereka berperilaku persis seperti kelas manajer yang terglobalisasi lainnya; di masyarakat lokal dimana firma asing berada, mereka tidak hanya mengubah gaya Inggris menjadi Minnan dan Hakka lokal, mereka juga mengubah mind-set mereka. Bagi kebanyakan mereka, melakukan bisnis atau menjalankan perusahaan adalah satu hal, namun terdapat aspek kehidupan lainnya, dan bisnis bukanlah segalanya. Untuk bertindak seperti seorang pengusaha atau manajer internasional adalah sebuah perilaku yang dipelajari bagi tempat kerja—sebuah kode perilaku yang diadopsi yang merupakan sebuah “penambahan” bukannya “penggantian” atas apa yang telah dipelajari mengenai hidup dari kebudayaan lokal.[34]


Silang Budaya: Mengambil yang Terbaik untuk Kemajuan

Sebagai sebuah sistem pemikiran dan nilai, serta perilaku kolektif (collective behavior) kebudayaan memiliki kedudukan sentral dalam menentukan kehidupan sosial, politik dan ekonomi—dan demikian juga sebaliknya.  Hubungan yang saling mempengaruhi ini merupakan sebuah fenomena yang sangat kompleks dan tidak bisa disederhanakan. Terlebih lagi dengan adanya keragaman budaya yang berbeda dari setiap bangsa di belahan dunia ini, sehingga masing-masing memiliki kasus yang unik, berbeda dan khas.

Dalam hal ini—sesuai dengan uraian di atas—ada beberapa unsur penting yang perlu di garis bawahi, yaitu: Pertama, jika budaya memiliki peranan yang menentukan maka sangat penting bagi suatu bangsa untuk merevitalisasi peran budaya untuk mendorong kemajuan. Sebab dalam kenyataannya tidak semua budaya cocok untuk mendorong kemajuan, sebagian malah menjadi penghambat kemajuan, seperti yang ditunjukkan oleh Gunnar Myrdal yang menilai faktor kemiskinan Negara-negara Asia diantaranya adalah karena latar belakang budaya mereka—seperti sikap irasional massa rakyat.

Kedua, keragaman budaya tidak semestinya mempertajam konflik dan pertentangan, tetapi perlu diarahkan kepada suasana dialog, kerjasama dan koeksistensi. Keragaman budaya justru merupakan peluang untuk terus belajar, bukan sebagai medan konflik. Meskipun potensi konflik tidak bisa dihilangkan sama sekali, namun setidaknya bisa diperkecil. Jangan sampai menjadi konflik berskala global seperti yang diprediksi oleh Huntington dalam The Clash of Civilizations.

Ketiga, persilangan budaya merupakan sebuah peluang untuk saling belajar dan menyerap keungulan-keunggulan dari berbagai budaya yang berbeda. Jika kita belajar dari sejarah maka akan nampak bahwa hampir semua peradaban besar yang pernah muncul ke panggung dunia tidak pernah lepas dari “pinjam-meminjam” dengan berbagai peradaban lainnya yang hidup sezaman.


Daftar Pustaka

Berger, Peter L. & Sameul P. Huntington (ed.), Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, (New York: Oxford University Press, 2002).
Blank, Stephen J. (et.al.), Conflict, Culture, and History: Regional Dimensions, (Alabama: Air University Press, 1993).
Chen-Min Hsu, Wei-Gui Zhang, Leslie Lok, The Business and Investment Environtment in Taiwan and Mainland China: A Focus on the IT and High-Tech Electronic Industries, (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2007).
Clark, Christopher & Wolfram Kaiser (ed.), Culture Wars: Secular-Catholic Conflict in Nineteenth-Century Europe, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).
Collins, Roger & Anthony Goodman (ed.), Medieval Spain: Culture, Conflict, and Coexistence-Studies in Honour of Angus Goodman, (Hampshire & New York: Palgrave Macmillan, 2002).
Ember, Carol L. & Melvin Ember, Cross-Cultural Research Methods, (Lanham: AltamMira Press, 2009)
Ember, Melvin & Carol R. Ember (ed.), Coutries and Their Cultures, (New York: Macmillan Reference USA, 2001).
Ember, Melvin, Carol R. Ember & Ian Skoggard (ed.), Encyclopedia of World Cultures, (New York: Macmillan Reference USA, 2002).
Fukuyama, Francis (ed.), Falling Behind: Explaining the Development Gap Between Latin America and the United States, (New York: Oxford University Press, 2008).
Hallwas, John E., Cultures in Conflict: A Documentary History of the Mormon War in Illinois, (Utah: Utah State University Press, 1995).
Harrison, Lawrence E. & Samuel P. Huntigton (Ed.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress, (New York: Basic Books, 2000)
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York: Simon & Schuster, 1996)
Landes, David S., The Wealth and Poverty of Nations: Why Some Are So Rich and Some So Poor, (New York: W.W. Norton & Company, 1998).
Lebaron, Michelle & Venashri Pillay, Conflict Across Cultures: A Unique Experiences of Bridging Differences, (Boston: Intercultural Press, 2006).
Levinson, David, Aggression and Conflict: A Cross-cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO, Inc., 1994).
----------------------, Human Environments: A Cross-cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc., 1995).
----------------------, Ethnic Relations: A Cross-Cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc., 1995).
Morgan, Lewis H., Ancient Society: Research in the Lines of Human Progress from Savagery through Barbarism to Civilization, (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1977).
Myrdal, Gunnar, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, (Pelican Books, 1977).
Murdock, George Peter, Social Structure, (New York: The Macmillan Company, 1949).
Nicolle, David & Angus McBride, The Moors: The Islamic West 7th – 15th Centuries AD, (Oxford: Osprey Publishing, 2001).
Paulino, Amelia U. Santos & Guanghua Wan (ed.), The Rise of China and India: Impacts, Propects and Implications, (New York: Palgrave Macmillan, 2010)
Roxborough, Ian, Theories of Underdevelopment, (New Jersey: Humanities Press, 1979).
Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (Hampshire: Harriman House, 2007).
Spoor, Max (ed.), Globalisation, Poverty and Conflict: A Critical “Development” Reader, (New York: Kluwer Academic Publishers, 2004).
Tylor, Edward B., Anthropology: An Introduction to the Study of Man and Civilization, (New York: D. Appleton & Company, 1896)
Touraine, Alain, The Post-Industrial Society, Tomorrow’s Social History: Classes, Conflicts and Culture in the Programmed Society, (New York: Random House, 1971)
Turner, Jonathan H., Sociology, (New York: Prentice Hall, 2005)
Woodworth, Steven E., Culture in Conflict: The American Civil War, (Westport, Connecticut: The Greenwood Press, 2000).
Yongxiang, Lu (ed.), Science & Technology in China: A Roadmap to 2050: Strategic General Report of the Chinese Academy of Sciences, (Science Press Beijing and Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2010).



[1] Alain Touraine pernah menjelaskan hal ini dalam konteks masyarakat pasca Industri, yaitu suatu masyarakat yang lebih “dikendalikan” oleh pertumbuhan ekonomi daripada yang lainnya. Dalam masyarakat seperti ini terjadi konflik sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konflik baru ini terjadi antara pembuatan-keputusan struktur ekonomi dan politik dengan mereka yang perananannya tergantung. Atau dapat juga disebut konflik antara segmen masyarakat yang menjadi sentral dan mereka yang feriferal atau marjinal. Ini merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan oposisi antara bangsa mengalami industrialisasi dan masyarakat Dunia Ketiga. Alain Touraine, The Post-Industrial Society, Tomorrow’s Social History: Classes, Conflicts and Culture in the Programmed Society, (New York: Random House, 1971), h.9.

[2] Dalam buku Globalization, Poverty and Conflict terangkum tulisan-tulisan mengenai evolusi perdebatan dan paradigma mengenai perubahan-perubahan dan transformasi sosial yang terjadi selama setengah-abad lalu. Menawarkan pemikiran kritis atas teori dan praktek mengenai kebijakan pengembangan sebagaimana terjadi di masa kini dari globalisasi yang meningkat cepat. Dalam buku ini Ssetiap bab memfokuskan pada pengurangan kemiskinan dan pembangunan lembaga demokratis di setiap tingkatan. Max Spoor (ed.), Globalisation, Poverty and Conflict: A Critical “Development” Reader, (New York: Kluwer Academic Publishers, 2004).

[3] Lihat, Ian Roxborough, Theories of Underdevelopment, (New Jersey: Humanities Press, 1979).

[4] MIsalnya buku Falling Behind yanf dieditori Fukuyama, mengambil kasus kesenjangan antara Amerika Serikat dan Amerika Latin. Buku ini memang tidak menyajikan sebuah perspektif khusus, tetapi mengkajinya secara luas dari perspektif sejarah, sosial, politik dan ekonomi. Lihat, Francis Fukuyama (ed.), Falling Behind: Explaining the Development Gap Between Latin America and the United States, (New York: Oxford University Press, 2008).

[5] Gunnar Myrdal, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, (Pelican Books, 1977), h.3.

[6] Ibid.

[7] Samel Huntington, Cultures Count, dalam Lawrence E. Harrison & Samuel P. Huntigton (Ed.), Culture Matters: How Values Shape Human Progress, (New York: Basic Books, 2000), h.xiv.

[8] Ibid., h. xxi

[9] Ibid. Kiranya tulisan Adam Smith dalam The Wealth of Nations, juga bisa dikategorikan dalam perspektif ini. Dalam karya monumentalnya itu Smith mempertanyakan bagaimana meningkatkan kemakmuran suatu bangsa dan bagaimana meningkatkan kekayaan manusia di seluruh dunia. Menurutnya hal itu adalah karena kebebasan untuk berdagang dan bersaing yang mengangkat kepentingan individu dan juga menghasilkan kemakmuran bangsa. Lihat, Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (Hampshire: Harriman House, 2007).

[10] Samel Huntington, Cultures Count, op.cit., h.xxi-xxii.

[11] Ibid., h.xiv.

[12] Stace Lindsay, Culture, Mental Models, and National Prosperity, dalam Lawrence E. Harrison & Samuel P. Huntigton (Ed.), Culture Matters, op.cit., h.282. Sementara itu Landes dalam The Wealth and Poverty of Nations berupaya untuk memahami bagaimana budaya dunia membawa kepada pencapaian kesuksesan—atau memperlambat—ekonomi dan militer. David S. Landes, The Wealth and Poverty of Nations: Why Some are So Rich and Some So Poor, (New York: W.W. Norton & Company, 1998).

[13] E.B. Tylor menggunakan pendekatan cross-cultural dalam kajian antropologinya. Ia menulis: “Siswa yang hendak memahami bagaimana umat manusia hadir seperti adanya, dan hidup sebagaimana yang mereka lakukan, maka yang pertama harus diketahui dengan jelas adalah apakah manusia merupakan pendatang baru di bumi, atau penduduk lama. Apakah mereka muncul dengan keragaman ras dan jalan hidup (way of life) yang siap pakai, atau hal ini dibentuk lama, tumbuh perlahan dalam zaman?  Dalam rangka menjawab pertanyaan ini, pekerjaan kita yang pertama akan mengambil sebuah survey yang segera atas keragaman manusia, bahasa mereka, peradaban mereka, dan peninggalan kuno mereka, untuk melihat bukti apa yang kemudian dimiliki zaman  manusia di dunia.” Edward B. Tylor, Anthropology: An Introduction to the Study of Man and Civilization, (New York: D. Appleton & Company, 1896), h.1.

[14] Morgan menulis buku Ancient Society yang merupakan kajian luas atas berbagai peradaban kuno mengenai pertumbuhan intelegensi melalui invensi dan penemuan, pertumbuhan ide mengenai pemerintahan, pertumbuhan ide mengenai keluarga, dan pertumbuhan ide mengenai kepemilikan, Lihat Lewis H. Morgan, Ancient Society: Research in the Lines of Human Progress from Savagery through Barbarism to Civilization, (Chicago: Charles H. Kerr & Company, 1977).

[15] George Peter Murdock, Social Structure, (New York: The Macmillan Company, 1949), h. vii.

[16] Carol L. Ember & Melvin Ember, Cross-Cultural Research Methods, (Lanham: AltamMira Press, 2009) , h.2.

[17] Carol L. Ember & Melvin Ember, Cross-Cultural Research Methods , op.cit., h.3. Studi cross-cultural menghendaki pengenalan terhadap keragaman budaya. Hal ini mendorong kedua penulis tersebut untuk memberikan sumbangan berharga bagi studi kebudayaan melalui ensiklopedia yang di editorinya ini, Encyclopedia of World Culture, yang terdiri dari 10 volume. LIhat Melvin Ember, Carol R. Ember & Ian Skoggard (ed.), Encyclopedia of World Cultures, (New York: Macmillan Reference USA, 2002). Mereka juga mengeditori Coutries and Their Cultures, yang terdiri atas 4 volume. LIhat, Melvin Ember & Carol R. Ember (ed.), Coutries and Their Cultures, (New York: Macmillan Reference USA, 2001). Sementara itu David Levinson menulis Human Environments: A Cross-cultural Encyclopedia, untuk mengetahui keragaman lingkungan dimana manusia hidup yang tentunya berhubungan dengan keragaman budaya. Lihat, David Levinson, Human Environments: A Cross-cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc., 1995). Ia juga menulis Ethnic Relations: A Cross-cultural Encyclopedia. Dalam kata pengantarnya ia menulis bahwa relasi etnik adalah sebuah topik yang banyak mendapat perhatian sekarang ini, dank arena konflik etnis sekarang ini dipandang sebagai bentuk utama (umum) dari konflik kekerasan di seluruh dunia, sehinga sebagian berpendapat bahwa relasi etnik adalah isu yang paling penting yang dihadapi oleh masyarakat dunia. LIhat, David Lavinson, Ethnic Relations: A Cross-Cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO Inc., 1995)., h.vii.

[18] Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, (New York: Simon & Schuster, 1996)

[19] Michelle Lebaron & Venashri Pillay, Conflict Across Cultures: A Unique Experiences of Bridging Differences, (Boston: Intercultural Press, 2006), h.16.

[20] Ibid.16.

[21] David Levinson, Aggression and Conflict: A Cross-cultural Encyclopedia, (Santa Barbara, California: ABC-CLIO, Inc., 1994)., h.vii.

[22] Seperti perang sipil Amerika yang terjadi, antara lain, karena perbedaan pandangan terhadap masalah perbudakan. Lihat, Steven E. Woodworth, Culture in Conflict: The American Civil War, (Westport, Connecticut: The Greenwood Press, 2000). Ataupun perang Mormon. LIhat, John E. Hallwas, Cultures in Conflict: A Documentary History of the Mormon War in Illinois, (Utah: Utah State University Press, 1995).

[23] Lihat, Christopher Clark & Wolfram Kaiser (ed.), Culture Wars: Secular-Catholic Conflict in Nineteenth-Century Europe, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).

[24] Jonathan H. Turner, Sociology, (Prentice Hall, 2005), h.87.

[25] Konflik regional dengan perspektif budaya ini dibahas secara khusus dalam Stephen J. Blank (et.al.), Conflict, Culture, and History: Regional Dimensions, (Alabama: Air University Press, 1993).

[26] Lihat, Roger Collins & Anthony Goodman (ed.), Medieval Spain: Culture, Conflict, and Coexistence-Studies in Honour of Angus Goodman, (Hampshire & New York: Palgrave Macmillan, 2002).

[27] Lihat, David Nicolle & Angus McBride, The Moors: The Islamic West 7th – 15th Centuries AD, (Oxford: Osprey Publishing, 2001).

[28] Hsin-Huang Michael Hsiao, Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization and Localization in Contemporary Taiwan, dalam Peter L. Berger, Sameul P. Huntington (ed.), Many Globalizations: Cultural Diversity in the Contemporary World, (New York: Oxford University Press, 2002), h.48.

[29] Jeffrey Henderson, Globalization and the Developing World: The Difference that China Makes, dalam  Amelia U. Santos-Paulino & Guanghua Wan (ed.), The Rise of China and India: Impacts, Propects and Implications, (New York: Palgrave Macmillan, 2010), h.3

[30] Chen-Min Hsu, Wei-Gui Zhang, Leslie Lok, The Business and Investment Environtment in Taiwan and Mainland China: A Focus on the IT and High-Tech Electronic Industries, (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., 2007), h.73.

[31] Jeffrey Henderson, op.cit., h.10.

[32] Yongxiang Lu (ed.), Science & Technology in China: A Roadmap to 2050: Strategic General Report of the Chinese Academy of Sciences, (Science Press Beijing and Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 2010), h.vii.

[33] Hsin-Huang Michael Hsiao, opc.it., h.51.

[34] Ibid., h.52.

2 comments:

  1. Salam kenal. Kebetulan, saya sedang meminati buku ini. Dimana kita-kira bisa saya dapatkan buku ini secara online? Terima kasih tulisannya bermanfaat sekali.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam juga..Untuk bukunya sudah terbit sekitar pertengahan April ini. Diterbitkan oleh PT Elexmedia Komputindo dan tersedia di toko buku Gramedia. untuk versi online mungkin di situs Gramedia...mungkin...

      Delete