Saturday, February 21, 2015

Al-Farabi Sang Jenius Bahasa, Logika, Matematika, Kosmologi, Psikologi, Musik dan Tata Negara

Kehidupan dan Karya

Muhammad ibn Tarkhan Abu Nasr al-Farabi lahir di Farab pada akhir abad ke 9 M (872 M) yang terletak di wilayah Khurasan (Turki).  Bapaknya merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi semua itu tidak menghalanginya untuk menimba ilmu di Baghdad. Al-Farabi pergi ke kota Bagdad ketika ia berusia 40 tahun. Ia Belajar disana kurang lebih 10 tahun. Di Baghdad, al-Farabi berguru kepada Ibn Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Al-Farabi juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat.

Pada tahun 330 H /941 M al-Farabi pergi ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini al-Farabi bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. 

Di Damaskus al-Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam harinya ia belajar teks-teks filsafat. Al-Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Sultan Saif al-Daulah memberi kedudukan kepada al-Farabi sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangan ia terima,  dibagikan kepada fakir-miskin. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota, Damaskus dan Aleppo, secara berpindah-pindah.

Sewaktu tingga di Baghdad al-Farabi menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantaranya buku tentang ilmu logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dll. Tapi kebanyakan karya–karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.

Diantara karya–karyanya yang terkenal antara lain : 1) Agrad al-Kitab ma Ba’da Tabi’ah  (Intisari Buku Metafisika); 2) al-Jam’u Baina Ra’yai al–Hakimaini (Mempertemukan dua pendapat Filusuf : Plato dan Aristoteles); 3) ‘Uyun al-Masa’il (Pokok-pokok persoalan); 4) Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Konsep Negara Utama); 4) Ihsa’ al-‘Ulum (Statistik Ilmu); 5) Tahsilu al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan); 6) al-Siyasah al-Madaniyah (politik pemerintahan), dll.

Al-Farabi meninggal di Damaskus pada tahun 339 H/ 941 M dalam suai 80 tahun. Ia meninggal dengan mewariskan karya intelektual yang berharga bagi para ilmuwan setelahnya.


Beragam Kecerdasan al-Farabi: Linguistik, Logika, Matematika, 
Musik, Eksistensial dan Spiritual

Al-Farabi adalah filosof Muslim pertama yang merumuskan pemikirannya secara sistematis. Meskipun al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, namun ia belum merumuskan pikirannya secara sistematis. Karena itu Al-Farabi-lah yang dinilai telah membangun pemikiran secara sistematis dan lengkap mulai dari logika, metafisika hingga politik secara utuh.

Al-Farabi digelari sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim al-Tsani)—setelah Aristoteles yang digelari “Guru Pertama” (al-Mu’allim al-Awwal)—yang menunjukkan kedudukan unik dalam sejarah filsafat, yang menghubungkan filsafat Yunani dan pemikiran Islam. Kedudukannya dalam sejarah logika Aristotelian sangatlah penting. Begitu juga dalam bidang kosmologi dan metafisika, al-Farabi menjadi tokoh utamanya.

Al-Farabi memiliki kecerdasan linguistik. Ia menguasai bahasa Turki, Persia, dan Arab. Dan mungkin juga ia menguasai bahasa Yunani, sebab al-Farabi sangat memahami pemikiran para filosof Yunani dengan baik.

Al-Farabi memiliki kecerdasan logika. Hal ini terlihat dari kemampuannya dalam menyusun klasifikasi ilmu dengan segala cabang-cabangnya seperti yang ia susun dalam karyanya Ihsa’ al-‘Ulum. Dalam hal ini ia dipandang sebagai pelopor klasifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu ke dalam tujuh bagian, yaitu : Logika, Retorika, Matematika, Fisika, Metafisika, Politik dan ilmu agama.

Kecerdasan logika al-Farabi juga dibuktikan dengan kemampuannya dalam mempertemukan dua pemikir raksasa Yunani, Plato dan Aristoteles, dalam karyanya al-Jami’u baina Ra’yay al-Hakimayn: Aflatun al-Ilahi wa Aristhuthales. Bahkan al-Farabi mempertemukan antara doktrin Islam dengan filsafat Yunani (utamanya Plato dan Aristoteles) dengan cara interpretasi (ta’wil) sebagaimana ia tuangkan dalam karyanya Ara’u Ahli al-Madinati al-Fadhilah.

Dengan kemampuan logikanya pula, al-Farabi mencoba mempertemukan kebenaran filosofis dengan kebenaran wahyu (yang dikenal dengan teori filsafat kenabian). Teori ini cukup rumit dan kontroversial. Terlalu panjang bila dijelaskan di sini. Sederhananya, menurut al-Farabi, kebenaran filosofis dan kebenaran wahyu tidak perlu dipertentangkan karena memiliki sumber yang sama, yaitu akal kesepuluh (salah satu akal samawi diantara akal-akal lainnya yang bertingkat secara hierakhis hingga akal pertama yang tertinggi dan dekat dengan Tuhan). Bedanya, para filosof menerima inspirasi intelektualnya dari akal kesepuluh dengan daya penalaran, sementara para nabi menerima inspirasi wahyunya dengan daya imajinasi.

Ketajaman logika al-Farabi juga ditunjukkan dengan kemampuannya dalam memahami karya Aristoteles mengenai metafisika, yang sulit dipahami oleh Ibn Sina sekali pun, walaupun Syaikh al-Ra’is ini telah membacanya hingga tidak kurang dari empat puluh kali sampai seluruh isi buku itu dihapalnya. Namun setelah membaca karya al-Farabi yang berjudul Tahqiq Ghardi Aristhuthalis fi Kitabi ma Ba’da al-Thabi’ah barulah Ibn Sina dapat memahami hal-hal yang tadinya masih kabur. Dalam karyanya ini al-Farabi menjelaskan maksud dan tujuan metafisika Aritoteles.   

Al-Farabi juga seorang ilmuwan yang memiliki kecerdasan musikal. Dalam bidang musika al-Farabi adalah ahlinya. Karya al-Farabi dalam bidang musik antara lain Kitab al-Musiqa al-Kabir, Fi al-Iqa dan al-Nuqlah ila al-Iqa. Al-Farabi juga penemu alat musik bernama rababah (rebab) pendahulu dari biola, dan penemu qanun papan sitar.

Bukan itu saja, al-Farabi juga ternyata seorang musisi yang terampil. Dengan musiknya ia mampu mengendalikan emosi para audiens. Suatu kali ia bermain musik di depan Syaif al-Daulah. Dalam permainan iramanya para audiens menangis, dan ketika ia mengubah iramanya mereka berubah tertawa dan akhirnya tertidur.

Al-Farabi memiliki kecerdasan eksistensial. Menurut Ahmad Fuad al-Ahwani, jika dilihat dari buku-buku yang dikarangnya, al-Farabi lebih banyak mencurahkan pemikirannya kepada soal kemanusiaan, akhlaknya, kehidupan pemikiran dan politiknya serta kesenian daripada menelaah masalah alam. Al-Farabi lebih nampak sebagai filosof humanis ketimbang naturalis.

Dan tentu saja al-Farabi memiliki kecerdasan spiritual. Hal ini nampak dari kegemarannya pada kehidupan zuhud dan mistisisme. Boleh jadi ketertarikan al-Farabi untuk mengembangkan imajinasinya mengenai kosmologi dan metafisika (mengenai tingkatan akal-akal samawi) karena kecenderungannya kepada mistisisme

No comments:

Post a Comment