Kehidupan dan Karya
Muhammad ibn
Tarkhan Abu Nasr al-Farabi lahir di Farab pada akhir abad ke 9 M (872 M) yang
terletak di wilayah Khurasan (Turki).
Bapaknya merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi semua itu
tidak menghalanginya untuk menimba ilmu di Baghdad. Al-Farabi pergi ke kota
Bagdad ketika ia berusia 40 tahun. Ia Belajar disana kurang lebih 10 tahun. Di
Baghdad, al-Farabi berguru kepada Ibn Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan
kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Al-Farabi
juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria
yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang
sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama
8 tahun guna mendalami filsafat.
Pada tahun
330 H /941 M al-Farabi pergi ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah
al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini al-Farabi bertemu
dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan
lainnya.
Di Damaskus al-Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam harinya ia belajar teks-teks filsafat. Al-Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud. Sultan Saif al-Daulah memberi kedudukan kepada al-Farabi sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangan ia terima, dibagikan kepada fakir-miskin. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota, Damaskus dan Aleppo, secara berpindah-pindah.
Sewaktu tingga di Baghdad al-Farabi menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Hasil karyanya diantaranya buku tentang ilmu logika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, kimia, ilmu politik, musik, dll. Tapi kebanyakan karya–karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab telah hilang dari peredaran. Sekarang yang masih tersisa diperkirakan hanya sekitar 30 buah.
Diantara
karya–karyanya yang terkenal antara lain : 1) Agrad al-Kitab ma Ba’da
Tabi’ah (Intisari Buku Metafisika); 2) al-Jam’u Baina Ra’yai
al–Hakimaini (Mempertemukan dua pendapat Filusuf : Plato dan Aristoteles);
3) ‘Uyun al-Masa’il (Pokok-pokok persoalan); 4) Ara’u Ahl al-Madinah
al-Fadhilah (Konsep Negara Utama); 4) Ihsa’ al-‘Ulum (Statistik
Ilmu); 5) Tahsilu al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan); 6) al-Siyasah
al-Madaniyah (politik pemerintahan), dll.
Al-Farabi
meninggal di Damaskus pada tahun 339 H/ 941 M dalam suai 80 tahun. Ia meninggal
dengan mewariskan karya intelektual yang berharga bagi para ilmuwan setelahnya.
Beragam Kecerdasan
al-Farabi: Linguistik, Logika, Matematika,
Musik, Eksistensial dan Spiritual
Al-Farabi
adalah filosof Muslim pertama yang merumuskan pemikirannya secara sistematis.
Meskipun al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, namun ia belum
merumuskan pikirannya secara sistematis. Karena itu Al-Farabi-lah yang dinilai
telah membangun pemikiran secara sistematis dan lengkap mulai dari logika,
metafisika hingga politik secara utuh.
Al-Farabi
digelari sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim
al-Tsani)—setelah Aristoteles yang digelari “Guru Pertama” (al-Mu’allim al-Awwal)—yang menunjukkan
kedudukan unik dalam sejarah filsafat, yang menghubungkan filsafat Yunani dan
pemikiran Islam. Kedudukannya dalam sejarah logika Aristotelian sangatlah
penting. Begitu juga dalam bidang kosmologi dan metafisika, al-Farabi menjadi
tokoh utamanya.
Al-Farabi
memiliki kecerdasan linguistik. Ia menguasai bahasa Turki, Persia, dan Arab.
Dan mungkin juga ia menguasai bahasa Yunani, sebab al-Farabi sangat memahami
pemikiran para filosof Yunani dengan baik.
Al-Farabi
memiliki kecerdasan logika. Hal ini terlihat dari kemampuannya dalam menyusun
klasifikasi ilmu dengan segala cabang-cabangnya seperti yang ia susun dalam
karyanya Ihsa’ al-‘Ulum. Dalam hal ini ia dipandang sebagai pelopor
klasifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu ke dalam tujuh
bagian, yaitu : Logika, Retorika, Matematika, Fisika, Metafisika,
Politik dan ilmu agama.
Kecerdasan
logika al-Farabi juga dibuktikan dengan kemampuannya dalam mempertemukan dua
pemikir raksasa Yunani, Plato dan Aristoteles, dalam karyanya al-Jami’u
baina Ra’yay al-Hakimayn: Aflatun al-Ilahi wa Aristhuthales. Bahkan
al-Farabi mempertemukan antara doktrin Islam dengan filsafat Yunani (utamanya
Plato dan Aristoteles) dengan cara interpretasi (ta’wil) sebagaimana ia
tuangkan dalam karyanya Ara’u Ahli al-Madinati al-Fadhilah.
Dengan
kemampuan logikanya pula, al-Farabi mencoba mempertemukan kebenaran filosofis
dengan kebenaran wahyu (yang dikenal dengan teori filsafat kenabian). Teori ini
cukup rumit dan kontroversial. Terlalu panjang bila dijelaskan di sini.
Sederhananya, menurut al-Farabi, kebenaran filosofis dan kebenaran wahyu tidak
perlu dipertentangkan karena memiliki sumber yang sama, yaitu akal kesepuluh
(salah satu akal samawi diantara akal-akal lainnya yang bertingkat secara
hierakhis hingga akal pertama yang tertinggi dan dekat dengan Tuhan). Bedanya,
para filosof menerima inspirasi intelektualnya dari akal kesepuluh dengan daya
penalaran, sementara para nabi menerima inspirasi wahyunya dengan daya
imajinasi.
Ketajaman
logika al-Farabi juga ditunjukkan dengan kemampuannya dalam memahami karya
Aristoteles mengenai metafisika, yang sulit dipahami oleh Ibn Sina sekali pun,
walaupun Syaikh al-Ra’is ini telah membacanya hingga tidak kurang dari
empat puluh kali sampai seluruh isi buku itu dihapalnya. Namun setelah membaca
karya al-Farabi yang berjudul Tahqiq Ghardi Aristhuthalis fi Kitabi ma Ba’da
al-Thabi’ah barulah Ibn Sina dapat memahami hal-hal yang tadinya masih
kabur. Dalam karyanya ini al-Farabi menjelaskan maksud dan tujuan metafisika
Aritoteles.
Al-Farabi
juga seorang ilmuwan yang memiliki kecerdasan musikal. Dalam bidang musika
al-Farabi adalah ahlinya. Karya al-Farabi dalam bidang musik antara lain Kitab al-Musiqa al-Kabir, Fi al-Iqa dan al-Nuqlah ila al-Iqa. Al-Farabi juga
penemu alat musik bernama rababah (rebab)
pendahulu dari biola, dan penemu qanun papan
sitar.
Bukan itu
saja, al-Farabi juga ternyata seorang musisi yang terampil. Dengan musiknya ia
mampu mengendalikan emosi para audiens. Suatu kali ia bermain musik di depan
Syaif al-Daulah. Dalam permainan iramanya para audiens menangis, dan ketika ia
mengubah iramanya mereka berubah tertawa dan akhirnya tertidur.
Al-Farabi
memiliki kecerdasan eksistensial. Menurut Ahmad Fuad al-Ahwani, jika dilihat
dari buku-buku yang dikarangnya, al-Farabi lebih banyak mencurahkan
pemikirannya kepada soal kemanusiaan, akhlaknya, kehidupan pemikiran dan
politiknya serta kesenian daripada menelaah masalah alam. Al-Farabi lebih
nampak sebagai filosof humanis ketimbang naturalis.
Dan
tentu saja al-Farabi memiliki kecerdasan spiritual. Hal ini nampak dari
kegemarannya pada kehidupan zuhud dan mistisisme. Boleh jadi ketertarikan
al-Farabi untuk mengembangkan imajinasinya mengenai kosmologi dan metafisika
(mengenai tingkatan akal-akal samawi) karena kecenderungannya kepada mistisisme
No comments:
Post a Comment