Friday, February 13, 2015

Mengembangkan Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)


Di masyarakat kita, khususnya lingkungan pendidikan, teori multiple intelligences yang diperkenalkan oleh Howard Gardner (1983, 1999), telah mendapatkan perhatian yang cukup besar. Seminar dan workshop telah diselenggarakan beberapa kali untuk memperkenalkan teori ini di kalangan para pendidik. Buku-buku mengenai topik ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Menurut toeri ini setiap individu memiliki banyak potensi kecerdasan, tidak hanya satu kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal/bahasa, logika/matematika, kinestetik/tubuh, musik, interpersonal, intrapersonal, dan natural. Semua potensi kecerdasan ini dapat dikembangkan sesuai dengan minat/bakat masing-masing. Lembaga pendidikan harus dapat berperan sebagai fasilitator bagi setiap individu siswa agar memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi kecerdasan mereka.


Pentingnya Kecerdasan Majemuk (Multiple intelligences)

Apa yang menarik dari Multiple intelligence adalah cara pandang baru dalam menilai anak, siswa, atau bakat seseorang. Teori ini memandang manusia secara utuh dengan segala potensi kecerdasannya yang unik, sehingga oleh banyak kalangan pendidik dinilai lebih sesuai bagi pendidikan yang berorientasi pada pengembangan manusia seutuhnya.


Dalam sebuah sinopsis buku Munif Chatib Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia disebutkan: “Kecerdasan majemuk (multiple intelligences) telah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari perkembangan zaman yang tengah terjadi saat ini dan masa yang akan datang. Pasalnya, dengan kecerdasan majemuk anak tidak saja hebat dari segi kecerdasan intelektual (intelecltual quotient/IQ), melainkan juga didukung dengan kecerdasan emosional (Emotional quotient/EQ) dan kecerdaran spiritual (spiritual quotient/SQ). Oleh karena itu, bagaimana mengoptimalkan kecerdasan majemuk yang telah ada pada setiap anak adalah tantangan yang sedapat mungkin dijawab oleh setiap orang tua, pendidik dan siapa pun juga yang peduli kepada perkembangan generasi pelanjut kehidupan umat manusia”.

Pemahaman yang utuh tentang jati diri manusia jelas amat diperlukan dalam proses pendidikan. Mengenal potensi-potensi-nya, kecerdasannya, moralitasnya, memang sangat penting dalam konteks pendidikan yang bersifat humanistik. Dalam pemahaman yang utuh itu pula kita dapat mengembangkan suatu kehidupan yang sesuai dengan hakikat manusia, tidak mereduksinya dalam kehidupan yang dangkal yang hanya mementingkan aspek lahiriah belaka. Di kalangan dunia Barat sendiri pemahaman yang utuh ini juga amat di dambakan, seperti yang ditunjukkan oleh Alexis Carrel yang menulis Man The Unknown, dimana ia amat prihatin dengan pemahaman yang dangkal dan fragmentaris mengenai manusia sehingga masyarakat modern mengalami penderitaan.

Sebagai konsep yang lebih memandang manusia secara lebih utuh, maka sampai saat ini multiple intelligences terus mendapat perhatian dan menjadi eksperimen yang coba dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.


Pendidikan Kita Belum Mengembangkan Kecerdasan Majemuk

Salah satu hal yang menjadi bahan kritik dari sejumlah praktisi pendidikan kita adalah bahwa sistem pendidikan kita masih belum akomodatif terhadap pengembangan potensi siswa yang sangat beragam dan kompleks itu. Menurut Munif Chatib misalnya, sistem pendidikan (atau sekolah) di Indonesia masih cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan siswa lainnya dengan penilaian metode dan parameter yang sangat sempit, yaitu aspek kognitif saja. Semua siswa, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi “dipaksa” untuk memenuhi standar pendidikan yang sempit ala “kacamata kuda” yang didesain oleh pengambil kebijakan. Namun, lanjut Chatib, di balik kebijakan penyeragaman pendidikan itu, muncul sebuah perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, sistem yang “mematikan” potensi, minat, dan bakat peserta didik yang dinilai bodoh, tidak layak dan gagal.

Sebenarnya sejumlah tawaran dan usulan berbagai ide dan gagasan alternatif bagi pengembangan sistem pendidikan merupakan sebuah langkah yang positif. Dalam hal ini akan terjadi proses saling kritik, saling memperbaiki dan tawaran-tawaran alternatif. Di sinilah multiple intelligences dapat menjadi alternatif yang positif untuk turut menyumbangkan  kemajuan.

Dalam rangka penerapan, penyesuaian dan pengembangan konsep multiple intelligences ini, masih dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan yang sesuai dengan konteks pendidikan kita. Kita juga membutuhkan publikasi dan bahan-bahan referensi yang memadai untuk mendukung proses tersebut.



Belajar dari Ilmuwan Muslim

Bila kita meneliti kehidupan sejumlah ilmuwan Muslim dengan melihat gejala-gejala kecerdasan mereka, seperti kemampuan ensiklopedik (gejala multiple intelligence), daya hafal yang tinggi,  kreatifitas yang tinggi dan lain-lainnya, maka dapat kita simpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berhasil mengembangkan kecerdasan majemuk, multiple intelligences.

Dan yang menarik lagi adalah bahwa para ilmuwan Muslim ini tidak hidup dalam pengasingan tetapi hidup dalam aktifitas keseharian yang penuh dengan kesibukan yang dapat menyita waktu untuk mendalami ilmu dan berpikir. Namun di sela-sela kesibukan itu mereka mampu mengerahkan energi intelektualnya untuk menghasilkan karya ilmiah yang tinggi bobotnya. Bahkan ada diantara mereka yang harus menjalani masa tahanan, namun tidak memadamkan api semangat mereka terhadap ilmu. Hal ini menjadi contoh penting bagi kita sekarang ini yang merasa hidup di zaman yang serba sibuk sehingga merasa sulit untuk mengatur waktu dalam rangka mengembangkan potensi-potensi kecerdasan kita sendiri.


Daftar Ilmuwan Muslim dan Keahlian mereka

Nama
Keahlian
Tahun
Jabir ibn Hayyan (Geber)
Kimia (father of chemistry)
803
Al-Asma’i
Zoologi, Botani
740 - 828
Al-Khawarizmi (Algoritm)
Matematika, Astronomi, Geografi, Musik
770 - 840
Amr ibn Bahr al-Jahiz
Zoologi, tata bahasa, retorika, leksikografi
776 - 868
Ibn Ishaq al-Kindi (Alkindus)
Filsafat, Fisika, Optik, Medis, Matematika, Metalurgi
800 - 873
Tsabit ibn Qurrah
Astronomi, Mekanika, Geometri, Anatomi
836 - 901
Abbas bin Firnas
Mekanika penerbangan, Planetarium, Kristal buatan
888
Ali ibn Rabban al-Tabbari
Medis, Matematika, Kaligrafi, Literatur
838 - 870
Al-Battani (Albategnus)
Astroomi, Matematika, Trigonometri
858 – 929
Al-Farghani (Alfaragnus)
Astrnomo, Teknik Sipil
860
Al-Razi (Rhazes)
Medis, Optalmologi, Kimia, Astronomi
864 – 930
Al-Farabi (Alpharabius)
Sosiologi, Logika, Filsafat, Politik, Musik
870 – 950
Abu al-Hasan Ali al-Mas’udi
Geografi, Sejarah
957
Al-Sufi (Azophi)
Astronomi
903 – 986
Abu al-Qasim al-Zahrawi
Medis, Pembedahan (Father of modern surgery)
936 – 1013
Muhammad al-Buzjani
Matematika, AstronomiGeometri, Trigonometri
940 – 997
Ibn al-Haitsam (Alhazen)
Fisika, Optik, Matematika
965 – 1040
Al-Mawardi
Politik, Sosiologi, Jurisprudensi, Etika
972 – 1058
Abu Raihan al-Biruni
Astronomi, Matematika, Geografi, Sejarah
973 – 1048
Ibn Sina (Avicenna)
Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi
981 – 1037
Al-Zarqali (Arzachel)
Astronomi
1028 – 1087
Omar al-Khayyam
Matematika, Puisi
1044 – 1123
Al-Ghazali (Algazel)
Sosiologi, Teologi, Filsafat, Fiqh
1058 – 1111
Abu Bakar ibn Bajjah
Filsafat, Kedokteran, Matematika, Astronomi, Musik
1106 – 1138
Ibn Zuhr (Avenzoor)
Pembedahan, Kedokteran
1091 – 1161
Al-Idrisi (Dreses)
Geografi (peta dunia, globe pertama)
1099 – 1166
Abu Bakar ibn Thufail
Filsafat, Kedokteran, Sastera, Puisi
1110 – 1185
Ibn Rusyd (Averroes)
Filsafat, Hukum, Kedokteran, Astronomi, Teologi
1128 – 1198
Al-Bitruji (Alpetragius)
Astronomi
1204
Ibn al-Baitar
Farmasi, Botani
1248
Nasir al-Din al-Tusi
Astronomi, Filsafat, Geometri non-euclidean
1201 – 1274
Jalal al-Din Rumi
Sastra, seni, sufisme
1207 – 1273
Ibn Nafis al-Dimasqi
Kedokteran, Anatomi
1213 – 1288
Al-Fida
Astronomi. Geografi, Sejarahj
1273 – 1331
Ibn Battutah
World Traveler
1304 – 1369
Ibn Khaldun
Sosiologi, Filsafat sejarah, Politik
1332 - 1395

Harus diingat bahwa kita hidup dimasa yang lebih maju akibat kecepatan teknologi informasi dan komunikasi. Bagi kita sekarang informasi dapat diperoleh dengan mudah dan cepat. Namun ironisnya: bahwa di satu sisi informasi sedemikian mudahnya untuk diperoleh, namun disisi lain kita tidak mampu mencapai apa yang telah dihasilkan oleh para pendahulu kita (para ilmuwan Muslim) yang hidup di zaman agraris. Kita hidup di zaman teknologi informasi, atau periode gelombang ketiga (the third wave) kata Alvin Toffler, namun hasilnya tidak sebanding dengan yang seharusnya dicapai.

Dengan kelimpahan teknologi informasi sekarang ini, proses berpikir kita malah semakin dangkal. Kita hanya sekedar tahu, dan miskin dalam menciptakan sesuatu (kurang kreatif). Sementara para jenius mampu mencipta dari apa yang mereka tahu. Ini menunjukkan bahwa yang terpenting bukan hanya sekedar “berapa banyak kita tahu”, tetapi sebanyak apa kita “memproses pengetahuan itu menjadi sesuatu yang baru”.

No comments:

Post a Comment