Di
masyarakat kita, khususnya lingkungan pendidikan, teori multiple intelligences yang diperkenalkan oleh Howard Gardner
(1983, 1999), telah mendapatkan perhatian yang cukup besar. Seminar dan
workshop telah diselenggarakan beberapa kali untuk memperkenalkan teori ini di
kalangan para pendidik. Buku-buku mengenai topik ini juga telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
Menurut toeri ini setiap individu memiliki banyak potensi kecerdasan, tidak hanya satu kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal/bahasa, logika/matematika, kinestetik/tubuh, musik, interpersonal, intrapersonal, dan natural. Semua potensi kecerdasan ini dapat dikembangkan sesuai dengan minat/bakat masing-masing. Lembaga pendidikan harus dapat berperan sebagai fasilitator bagi setiap individu siswa agar memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi kecerdasan mereka.
Pentingnya Kecerdasan
Majemuk (Multiple intelligences)
Apa yang
menarik dari Multiple intelligence
adalah cara pandang baru dalam menilai anak, siswa, atau bakat seseorang. Teori
ini memandang manusia secara utuh dengan segala potensi kecerdasannya yang
unik, sehingga oleh banyak kalangan pendidik dinilai lebih sesuai bagi
pendidikan yang berorientasi pada pengembangan manusia seutuhnya.
Dalam sebuah
sinopsis buku Munif Chatib Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di
Indonesia disebutkan: “Kecerdasan majemuk (multiple
intelligences) telah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari
perkembangan zaman yang tengah terjadi saat ini dan masa yang akan datang.
Pasalnya, dengan kecerdasan majemuk anak tidak saja hebat dari segi kecerdasan intelektual
(intelecltual quotient/IQ), melainkan juga didukung dengan kecerdasan emosional
(Emotional quotient/EQ) dan kecerdaran spiritual (spiritual
quotient/SQ). Oleh karena itu, bagaimana mengoptimalkan kecerdasan majemuk
yang telah ada pada setiap anak adalah tantangan yang sedapat mungkin dijawab
oleh setiap orang tua, pendidik dan siapa pun juga yang peduli kepada
perkembangan generasi pelanjut kehidupan umat manusia”.
Pemahaman
yang utuh tentang jati diri manusia jelas amat diperlukan dalam proses
pendidikan. Mengenal potensi-potensi-nya, kecerdasannya, moralitasnya, memang
sangat penting dalam konteks pendidikan yang bersifat humanistik. Dalam
pemahaman yang utuh itu pula kita dapat mengembangkan suatu kehidupan yang
sesuai dengan hakikat manusia, tidak mereduksinya dalam kehidupan yang dangkal
yang hanya mementingkan aspek lahiriah belaka. Di kalangan dunia Barat sendiri
pemahaman yang utuh ini juga amat di dambakan, seperti yang ditunjukkan oleh
Alexis Carrel yang menulis Man The Unknown, dimana ia amat prihatin
dengan pemahaman yang dangkal dan fragmentaris mengenai manusia sehingga
masyarakat modern mengalami penderitaan.
Sebagai
konsep yang lebih memandang manusia secara lebih utuh, maka sampai saat ini multiple intelligences terus mendapat
perhatian dan menjadi eksperimen yang coba dilakukan oleh lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Kita Belum
Mengembangkan Kecerdasan Majemuk
Salah satu
hal yang menjadi bahan kritik dari sejumlah praktisi pendidikan kita adalah
bahwa sistem pendidikan kita masih belum akomodatif terhadap pengembangan
potensi siswa yang sangat beragam dan kompleks itu. Menurut Munif Chatib
misalnya, sistem pendidikan (atau sekolah) di Indonesia masih cenderung menyamaratakan
standar kecerdasan satu siswa dengan siswa lainnya dengan penilaian metode dan
parameter yang sangat sempit, yaitu aspek kognitif saja. Semua siswa, mulai
dari tingkat sekolah dasar hingga jenjang perguruan tinggi “dipaksa” untuk
memenuhi standar pendidikan yang sempit ala “kacamata kuda” yang didesain oleh
pengambil kebijakan. Namun, lanjut Chatib, di balik kebijakan penyeragaman
pendidikan itu, muncul sebuah perlawanan terhadap sistem yang tidak adil,
sistem yang “mematikan” potensi, minat, dan bakat peserta didik yang dinilai
bodoh, tidak layak dan gagal.
Sebenarnya
sejumlah tawaran dan usulan berbagai ide dan gagasan alternatif bagi
pengembangan sistem pendidikan merupakan sebuah langkah yang positif. Dalam hal
ini akan terjadi proses saling kritik, saling memperbaiki dan tawaran-tawaran
alternatif. Di sinilah multiple intelligences dapat menjadi alternatif
yang positif untuk turut menyumbangkan
kemajuan.
Dalam rangka
penerapan, penyesuaian dan pengembangan konsep multiple intelligences ini,
masih dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan yang sesuai dengan konteks
pendidikan kita. Kita juga membutuhkan publikasi dan bahan-bahan referensi yang
memadai untuk mendukung proses tersebut.
Belajar dari Ilmuwan
Muslim
Bila kita
meneliti kehidupan sejumlah ilmuwan Muslim dengan melihat gejala-gejala
kecerdasan mereka, seperti kemampuan ensiklopedik (gejala multiple intelligence), daya hafal yang tinggi, kreatifitas yang tinggi dan lain-lainnya,
maka dapat kita simpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berhasil
mengembangkan kecerdasan majemuk, multiple intelligences.
Dan yang
menarik lagi adalah bahwa para ilmuwan Muslim ini tidak hidup dalam pengasingan
tetapi hidup dalam aktifitas keseharian yang penuh dengan kesibukan yang dapat
menyita waktu untuk mendalami ilmu dan berpikir. Namun di sela-sela kesibukan
itu mereka mampu mengerahkan energi intelektualnya untuk menghasilkan karya
ilmiah yang tinggi bobotnya. Bahkan ada diantara mereka yang harus menjalani
masa tahanan, namun tidak memadamkan api semangat mereka terhadap ilmu. Hal ini
menjadi contoh penting bagi kita sekarang ini yang merasa hidup di zaman yang
serba sibuk sehingga merasa sulit untuk mengatur waktu dalam rangka
mengembangkan potensi-potensi kecerdasan kita sendiri.
Daftar Ilmuwan Muslim dan Keahlian mereka
Nama
|
Keahlian
|
Tahun
|
Jabir ibn Hayyan (Geber)
|
Kimia (father
of chemistry)
|
803
|
Al-Asma’i
|
Zoologi, Botani
|
740 - 828
|
Al-Khawarizmi (Algoritm)
|
Matematika, Astronomi, Geografi, Musik
|
770 - 840
|
Amr ibn Bahr al-Jahiz
|
Zoologi, tata bahasa, retorika, leksikografi
|
776 - 868
|
Ibn Ishaq al-Kindi (Alkindus)
|
Filsafat, Fisika, Optik, Medis, Matematika,
Metalurgi
|
800 - 873
|
Tsabit ibn Qurrah
|
Astronomi, Mekanika, Geometri, Anatomi
|
836 - 901
|
Abbas bin Firnas
|
Mekanika penerbangan, Planetarium, Kristal buatan
|
888
|
Ali ibn Rabban al-Tabbari
|
Medis, Matematika, Kaligrafi, Literatur
|
838 - 870
|
Al-Battani (Albategnus)
|
Astroomi, Matematika, Trigonometri
|
858 – 929
|
Al-Farghani (Alfaragnus)
|
Astrnomo, Teknik Sipil
|
860
|
Al-Razi (Rhazes)
|
Medis, Optalmologi, Kimia, Astronomi
|
864 – 930
|
Al-Farabi (Alpharabius)
|
Sosiologi, Logika, Filsafat, Politik, Musik
|
870 – 950
|
Abu al-Hasan Ali al-Mas’udi
|
Geografi, Sejarah
|
957
|
Al-Sufi (Azophi)
|
Astronomi
|
903 – 986
|
Abu al-Qasim al-Zahrawi
|
Medis, Pembedahan (Father of modern surgery)
|
936 – 1013
|
Muhammad al-Buzjani
|
Matematika, AstronomiGeometri, Trigonometri
|
940 – 997
|
Ibn al-Haitsam (Alhazen)
|
Fisika, Optik, Matematika
|
965 – 1040
|
Al-Mawardi
|
Politik, Sosiologi, Jurisprudensi, Etika
|
972 – 1058
|
Abu Raihan al-Biruni
|
Astronomi, Matematika, Geografi, Sejarah
|
973 – 1048
|
Ibn Sina (Avicenna)
|
Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi
|
981 – 1037
|
Al-Zarqali (Arzachel)
|
Astronomi
|
1028 – 1087
|
Omar al-Khayyam
|
Matematika, Puisi
|
1044 – 1123
|
Al-Ghazali (Algazel)
|
Sosiologi, Teologi, Filsafat, Fiqh
|
1058 – 1111
|
Abu Bakar ibn Bajjah
|
Filsafat, Kedokteran, Matematika, Astronomi, Musik
|
1106 – 1138
|
Ibn Zuhr (Avenzoor)
|
Pembedahan, Kedokteran
|
1091 – 1161
|
Al-Idrisi (Dreses)
|
Geografi (peta dunia, globe pertama)
|
1099 – 1166
|
Abu Bakar ibn Thufail
|
Filsafat, Kedokteran, Sastera, Puisi
|
1110 – 1185
|
Ibn Rusyd (Averroes)
|
Filsafat, Hukum, Kedokteran, Astronomi, Teologi
|
1128 – 1198
|
Al-Bitruji (Alpetragius)
|
Astronomi
|
1204
|
Ibn al-Baitar
|
Farmasi, Botani
|
1248
|
Nasir al-Din al-Tusi
|
Astronomi, Filsafat, Geometri non-euclidean
|
1201 – 1274
|
Jalal al-Din Rumi
|
Sastra, seni, sufisme
|
1207 – 1273
|
Ibn Nafis al-Dimasqi
|
Kedokteran, Anatomi
|
1213 – 1288
|
Al-Fida
|
Astronomi. Geografi, Sejarahj
|
1273 – 1331
|
Ibn Battutah
|
World Traveler
|
1304 – 1369
|
Ibn Khaldun
|
Sosiologi, Filsafat sejarah, Politik
|
1332 - 1395
|
Harus
diingat bahwa kita hidup dimasa yang lebih maju akibat kecepatan teknologi
informasi dan komunikasi. Bagi kita sekarang informasi dapat diperoleh dengan
mudah dan cepat. Namun ironisnya: bahwa di satu sisi informasi sedemikian
mudahnya untuk diperoleh, namun disisi lain kita tidak mampu mencapai apa yang
telah dihasilkan oleh para pendahulu kita (para ilmuwan Muslim) yang hidup di
zaman agraris. Kita hidup di zaman teknologi informasi, atau periode gelombang
ketiga (the third wave) kata Alvin
Toffler, namun hasilnya tidak sebanding dengan yang seharusnya dicapai.
Dengan
kelimpahan teknologi informasi sekarang ini, proses berpikir kita malah semakin
dangkal. Kita hanya sekedar tahu, dan miskin dalam menciptakan sesuatu (kurang
kreatif). Sementara para jenius mampu mencipta dari apa yang mereka tahu. Ini
menunjukkan bahwa yang terpenting bukan hanya sekedar “berapa banyak kita
tahu”, tetapi sebanyak apa kita “memproses pengetahuan itu menjadi
sesuatu yang baru”.
No comments:
Post a Comment