A. Warisan Adam as.
Adam as. adalah manusia yang
sangat cerdas. Betapa tidak, nenek moyang kita ini telah diuji langsung oleh
Allah Swt. yang dengan ujian itu Adam mampu menunjukkan keunggulannya di atas
para malaikat. Hal ini dapat disimak dari kisah dalam ayat berikut:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu,
Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya
aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan?" Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir. (Qs. Al-Baqarah/2: 31-34)
Ayat itu
menunjukkan bahwa kecerdasan yang dimiliki Adam as. merupakan anugerah dari
Allah, dan Allah sendiri pula yang mengajarkan pengetahuan kepadanya. Jelas ini
merupakan sebuah kehormatan dan menunjukkan derajat kemuliaan manusia diantara
makhluk-makhluk lainnya.
Pada mulanya
para malaikat “mempertanyakan” kebijakan Allah dalam pengangkatan Adam as
sebagai khalifah. Lalu dengan menunjukkan kemampuan intelektual dan spiritual
Adam dalam menyebutkan nama-nama seluruhnya (asma’a kullaha) para malaikat pun mengakuinya dan bersujud
kepadanya. Hanya iblis yang tidak bersedia menghormati Adam dan enggan mengakui
keunggulannya.
Kecerdasan
yang dimiliki Adam as. pada gilirannya menjadi sarana penting ketika ia
menjalani kehidupan di bumi. Sebab setelah menjalani masa tenang di surga, Adam
bersama istrinya harus menjalani kehidupan di bumi, sesuai dengan ketetapan
Allah untuk menjadikannya sebagai khalifah di negeri yang hijau ini. Meski pun
sebabnya adalah karena ketergelincirannya oleh godaan iblis untuk mendekati
pohon terlarang, namun turunnya Adam ke bumi tetap merupakan bagian dari
rencana Allah.
Tidak
seperti di surga yang semuanya telah tersedia, di bumi Adam harus mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dengan bekerja, mengelola alam, dan
memanfaatkan berbagai kondisi lingkungan agar dapat bertahan hidup. Adam harus
memahami cuaca dan perubahan iklim, membuat alat-alat dan perkakas, bercocok
tanam, memelihara hewan, serta kecakapan-kecakapan lainnya. Dalam hal ini
kecerdasan Adam betul-betul menunjukkan peranannya. Dan untungnya Allah pun
telah menjadikan bumi sebagai lingkungan yang kondusif bagi kehidupan manusia.
Sampai Adam
melahirkan keturunan, yang kelak menjadi induk bangsa-bangsa dunia, Adam telah
mewariskan dua hal penting bagi kelangsungan hidup manusia, yaitu: keimanan dan
kecerdasan. Keimanan dan kecerdasan, bersama-sama menjadi bagian yang sangat
penting yang menentukan nasib umat manusia.
Keimanan
Adam as.
adalah seorang Nabi yang menerima wahyu dari Allah dan mengajarkannya kepada
keturunan-keturunannya. Ia mewariskan ajaran tauhid kepada generasi setelahnya
agar mereka beriman kepada Allah dan tidak mempersekutukan Allah dengan apa
pun. Warisan ini merupakan potensi yang terkandung dalam fitrah manusia—yang
tersimpan dalam sistem genetika—yang membuatnya siap menerima ajaran tauhid.
Meskipun dalam kenyataannya manusia tetap saja bisa kufur kepada Allah. Namun,
selagi manusia masih tetap manusia, potensi Tauhid tetap berakar dalam fitrah
manusia yang telah menjadi stempel suci ilahi yang telah dicapkan sejak masa
primordial:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab:
“Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi” (Qs.al-A’raf: 172)
Watak
religius manusia ini telah menjadi ciri semua kebudayaan di masa lalu. Terlepas
dari bentuk-bentuk penyembahan yang bersifat politeisme, animisme dan
dinamisme, namun manusia selalu membutuhkan sesembahan. Mereka selalu bergantung
kepada sesuatu di luar diri mereka yang dipandang lebih tinggi. Adalah
kehadiran para Nabi yang meluruskan bentuk religiusitas tersebut sehingga
manusia hanya menyembah satu Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam.
Di masa
sekarang, fitrah keimanan ini sangat penting sebagai pemandu spiritual yang
mengingatkan manusia dari dunia materialistis yang menyerbu relung-relung
kehidupan. Fitrah keimanan menumbuhkan kerinduan mistis yang tak lekang oleh
waktu dan akan menjadi cahaya dalam kegelapan dunia yang payungi oleh kabut
gelap hawa nafsu.
Kecerdasan
Bakat
kecerdasan Adam as diwariskan kepada keturunannya sehingga mereka dapat
mempertahankan eksistensinya dan secara bertahap mampu mengembangkan taraf
kehidupan yang lebih maju. Dari satu generasi ke generasi lain manusia terus
meningkatkan kemajuannya melalui kecerdasannya itu. Dari penciptaan alat-alat
sederhana hingga membuat sistem hukum dan perundangan-undangan Negara seperti
dalam kebudayaan Mesir Kuno dengan undang-undang Hamurabbi-nya.
Kecerdasan
yang diwariskan Adam memungkinkan umat manusia mengembangkan seni, ilmu dan
teknologi yang puncak kecanggihannya dapat kita saksikan sekarang ini. Semua
ini merupakan anugerah yang amat besar yang sepantasnya disyukuri oleh manusia,
yaitu dengan menciptakan kehidupan yang baik dan bermartabat yang dilandasi oleh semangat
beribadah kepada Allah.
B. Peradaban Besar Dunia: Jejak Kecerdasan
Manusia
Tanda-tanda kecerdasan manusia
dapat dilihat dari jejak peradaban besar dunia. Jejak ini bahkan dapat ditelusuri
dari pembuatan alat-alat perkakas sederhana yang terbuat dari batu seperti
tombak dan kapak. Temuan yang lebih maju
adalah penggunaan roda dan alat bajak sawah. Orang-orang Mesopotamia telah
menggunakan alat-alat tersebut dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Kemudian
dalam bentuknya yang lebih maju dan mengagumkan terdapat pada peradaban Mesir
Kuno dalam bidang seni arsitektur seperti yang dapat disaksikan pada bangunan
Piramida. Sampai sekarang para ahli belum memperoleh penjelasan yang memuaskan
tentang bagaimana Piramida dibangun oleh orang-orang Mesir kuno. Hal yang sama
juga dapat disaksikan pada seni arsitektur suku Maya dan Inca. Semua ini
menunjukkan tingkat kecerdasan manusia yang amat mengagumkan.
Kemudian
peradaban Islam tampil ke panggung sejarah dunia dengan kemajuan yang tak kalah
canggihnya, baik dari karya seni, ilmu pengetahuan, teknologi dan arsitektur.
Kemajuan ini secara menonjol berlangsung sekitar abad ke 7 sampai ke 13 M. Pada
masa ini kemajuan baca tulis benar-benar mencapai puncaknya sebagai media untuk
memproduksi karya dan literatur ilmiah. Sejumlah disiplin ilmu dihasilkan di
masa ini mulai dari matematika, kimia, kedokteran, astronomi, geografi dan
lainnya. Para ilmuwan cerdas yang terkenal di bidang tersebut antara lain al-Khawarizmi,
Jabir ibn Hayyan, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Nafis, al-Biruni,
al-Fazari, Ibn Rusyd, Nashir al-Din al-Thusi, Ibn Khaldun, dan lain-lainnya.
Rantai
kemajuan ini kemudian beralih ke Eropa dengan terjadinya pertukaran intelektual
antara kaum Muslim dengan pelajar-pelajar Eropa. Eropa memulai masa
renaisans-nya sejak abad ke 17 dan kemudian masa Aufklarung di abad ke 18.
Mulailah peradaban modern lahir dengan kekuatan hebat yang ditopang oleh sains
dan teknologi. Berbagai temuan-temuan terus ditemukan dengan semangat idea of progress (ide kemajuan).
Ditemukannya mesin uap, kompas, mesiu, lampu listrik, alat-alat komunikasi dll
telah memacu perkembangan teknologi menjadi semakin cepat. Sampai sekarang
perkembangan ini terus melaju tanpa henti. Ini semua menunjukkan tingkat
perkembangan kecerdasan manusia yang terus bergerak maju dan hingga saat ini
belum diketahui sampai mana batasnya.
C. Mensyukuri Anugerah Kecerdasan
Jean Piaget seorang ahli psikologi kognitif, dalam buknya Psychology of Intelligence menyatakan bahwa kecerdasan memiliki peran sentral dalam kehidupan mental dan dalam kehidupan organisme itu sendiri. Kecerdasan merupakan unsur yang paling lentur sekaligus merupakan struktur keseimbangan perilaku yang paling kuat, merupakan sebuah sistem kehidupan yang paling esensial. Kecerdasan (intelegensi) merupakan bentuk tertinggi yang berkembang dari adaptasi mental, merupakan instrumen yang sangat dibutuhkan bagi interaksi antara subjek dan dunia dimana lingkup interaksi ini melampaui kontak yang bersifat langsung dan sesaat, lalu meraih hubungan jangka panjang dan tetap.
Penjelasan
di atas menunjukkan peran sentral kecerdasan dalam kehidupan manusia.
Kecerdasan ini siap untuk dikembangkan dan menunggu untuk diaktifkan. Bila tidak, maka ia akan tetap berada dalam
keadaan potensial belaka. Jadi, “gunakanlah atau ia akan hilang!”.
Dalam
konteks ajaran Islam, mensyukuri anugerah kecerdasan tidak lepas dari kedudukan
kita sebagai khalifah di bumi. Oleh karena itu perwujudannya harus sesuai
dengan fungsi kekhalifahan tersebut, yaitu beribadah kepada Allah dalam arti
seluas-luasnya. Di sisi lain mensyukuri anugerah kecerdasan dapat diwujudkan
dengan memaksimalkan potensi kecerdasan tersebut untuk kesejahteraan hidup
manusia, dan menghindari semua bentuk kerusakan di muka bumi. Di sinilah
dibutuhkan prinsip keseimbangan. Misalnya pengelolaan alam, baik tanah, hutan,
gunung, laut dan lainnya harus juga memperhatikan kelestariannya jangan hanya
semata-mata untuk dieksploitasi. Ketidak pedulian terhadap kelestarian alam
akan berakibat pada penghancuran kehidupan manusia sendiri. Sebab merusak alam
sama dengan merusak rumah sendiri. Dan sayangnya, kesadaran lingkungan di
kalangan bangsa kita masih rendah.
Orang yang
mensyukuri anugerah kecerdasan akan mensyukuri anugerah kehidupan. Ia akan
memanfaatkannya untuk terus belajar, berlatih dan mengembangkan dirinya. Tidak
ada kata akhir untuk terus belajar. Juga tidak ada kata terlambat untuk
belajar.
Dalam usia
berapa pun otak manusia tetap memiliki kemampuan untuk belajar, yang
membedakannya hanyalah cepat atau lambatnya saja. Manusia selalu terbuka pada
perubahan. Bahkan, meskipun
seseorang tidak mendapatkan pendidikan yang baik di masa kecil atau pernah
mendapat pengalaman buruk (traumatik), bukan berarti tertutupnya pintu
kecerdasan
.
Memang, para
ahli mengemukakan bahwa usia 5 tahun pertama amat menentukan bagi perkembangan
sel saraf anak sehingga masa ini menentukan perkembangan selanjutnya. Namun
banyak juga orang yang nampak bodoh di usia-usia dini kemudian melejit di
masa-masa tertentu hidupnya. Albert Einstein sang ilmuwan besar abad 20 adalah
contohnya.
Manusia
memang seperti yang dikatakan Jean Paul Satre, seorang filosof
Eksistensialisme, yaitu sebagai makhluk yang belum selesai. Artinya kemungkinan
dan peluang-peluang hidupnya masih terbentang luas. Jadi, jangan pesimis dan
membatasi cakrawala kita sendiri.
D. Hidup Dengan Cerdas
Memanfaatkan
kecerdasan untuk mencapai kemajuan dalam hidup adalah sangat penting bagi
manusia. Dengan begitu kehidupan menjadi dinamis, berkembang dan tidak menetap
secara statis. Dalam sejarah, melalui kecerdasannyalah manusia mulai
meninggalkan goa-goa primitifnya dan mulai memanfaatkan lingkungan alam. Mereka
terus belajar bagaimana mengolah alam dengan cara yang lebih baik dan
menciptakan hunian yang nyaman bagi kelompok-kelompok mereka. Evolusi ini terus
berlangsung hingga manusia mampu menciptakan pyramid, istana, benteng dan
taman-taman yang mempesona.
Di masa
sekarang di mana kehidupan dipenuhi dengan persaingan dan sumber daya alam
semakin terbatas, kecerdasan semakin diperlukan untuk bertahan hidup. Pasar
ekonomi bebas seperti tidak mengenal kompromi, industri raksasa terus
menggilas, dominasi ekonomi-politik Negara-negara maju atas Negara berkembang
mencengkeram seperti tangan besi. Dalam situasi semacam ini seseorang tidak
cukup hanya mengandalkan otot untuk meraih kesuksesan. Ia harus menggunakan
kecerdasannya.
Bagi
perkembangan hidup seseorang, manfaat hidup cerdas adalah meraih kesuksesan
yang lebih besar dan (relatif) sempurna, seperti:
- Meraih makna hidup yang mendalam
- Keterampilan memecahkan masalah
- Memiliki sudut pandang dan cara berpikir yang kaya
- Meraih tujuan-tujuan hidup secara lebih efektif dan efisien
- Meraih kebahagiaan
Dari sini
maka nampak jelas bahwa pengembangan kecerdasan merupakan hak bagi setiap
orang, sebab ia berkaitan dengan kehidupan yang layak dan bermartabat. Dan
setiap orang harus saling membantu dan mendukung setiap upaya pengembangan
kecerdasan demi kehidupan bersama yang lebih baik.
E. Religiusitas pun Membutuhkan Kecerdasan
Bukanlah
suatu hal baru bila kehidupan beragama yang berlandaskan kepada keimanan sering
dipertentangkan dengan rasionalitas (salah satu aspek kecerdasan manusia).
Keimanan dipertentangkan dengan kecerdasan akal. Iman adalah musuh akal; jika
ingin mencapai keimanan tanpa keraguan maka jangan gunakan akal dalam keimanan.
Seseorang yang ingin meraih kehidupan religius yang damai dan tenang harus
meninggalkan pemikiran akalnya. Kalau dia menggunakan akalnya maka ia akan
mengalami keraguan, kegoncangan dan akhirnya meninggalkan keyakinannya, tidak
beragama atau menjadi ateis.
Padahal
dalam contoh kisah Nabi Adam di atas, yang pertama diajarkan oleh Allah terkait
dengan ilmu dan pemahaman; dengan penggunaan kecerdasan akal. Ini berarti dalam
unsur keimanan, kecerdasan jangan dipisahkan. Keduanya harus terjalin dengan
baik sehingga menghasilkan keimanan yang cerdas, kehidupan religius yang
cerdas.
Iman dan
ibadah yang cerdas berarti mampu mengekspresikan penyembahan ke dalam
bentuk-bentuk yang lebih tinggi seperti seni, ilmu, dan spiritualitas. Ibadah
tidak hanya diwujudkan ke dalam bentuk-bentuk formal semata, tetapi juga
dikespresikan dalam bentuk yang lebih halus. Tanpa ekspresi-ekspresi semacam
ini seseorang dapat terjebak pada penghayatan agama yang bersifat dangkal,
sempit dan picik—bahkan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan
dalam agama.
Peradaban Islam begitu kaya dengan ekspresi-ekspresi tingkat tinggi dalam seni, ilmu dan spiritualitas. Dalam bidang seni (misalnya sastra-sufi), kita mengenal karya besar seperti Jami’, Farid al-Din Attar, Jalal al-Din Rumi, Mahmud Shabistari dan lainnya. Mereka mengekspresikan cinta kepada Tuhannya dalam bentuk seni sastra yang sangat tinggi.
Sementara ekspresi di bidang ilmu ditunjukkan oleh para ilmuwan jenius seperti Ibn Sina, al-Biruni, al-Khawarizmi, Ibn Sina, Ibn Nafis, Ibn Rusyd dan lainnya, dimana mereka melakukan studi atas alam tidak hanya semata-mata untuk merumuskan ilmu pengetahuan tetapi juga mengungkapkan Keagungan Tuhan.
Semua
ekspresi ini (seni, ilmu dan spiritualitas) tidak terpisahkan satu sama lain.
Para jenius besar Islam sendiri memang telah mengintegrasikannya kedalam
pandangan dunia mereka, tauhid, sehingga menciptakan sebuah harmoni yang indah.
Dengan cara itu, kehidupan religius seorang Muslim menjadi berdimensi luas dan
penuh gairah. Ibadah menjadi ekpresi keindahan, keagungan, dan kelembutan, dari
cakrawala yang luas dan tak mengenal batas yang akhirnya bermuara dalam Keagungan-Nya.
[]
No comments:
Post a Comment