Saturday, February 21, 2015

Jalal al-Din Rumi Jenius Musik, Sastra dan Sufisme

Kehidupan dan Karya

Nama Jalal al-Din Rumi telah dikenal secara luas, dan telah lama dikenal di Barat sebagai salah seorang sufi penyair terbesar yang menulis dalam bahasa Persia. Bersama sufi besar lainnya, ia telah memberikan pengaruh bagi umat Islam (dan non Islam) sepanjang sejarah hingga masa modern. Jika Syaikh Abd al-Qadir Jilani (w.1166) disebut Kutub (Quthb) Kekuatan, Ibn Arabi (1165-1249) sebagai Kutub Pengetahuan, Rumi (1207-1273) disebut sebagai Kutub Cinta. Melalui Rumi, hadir suatu transmisi Ketuhanan ke planet ini melalui wilayah cinta. Puisi-puisinya merupakan sebuah pengalaman dari kehidupan pada titik pusat terdalam. Dalam setiap wujud manusia terdapat pertemuan dengan aspek Ketuhanan. Tempat pertemuan itu adalah hati.


Jalal al-Din Rumi, yang secara umum di kenal di Timur sebagai Mawlana atau Mawlawi, (yang berarti guru atau tuan kami) lahir di Asia tengah, di Balkh (sekarang Afghanistan), pada 6 Rabi al-Awal 1604 H/ 30 September 1207 M. Nama sesungguhnya adalah Jalal al-Din Muhammad Balkhi, yang setelah lahir ayahnya membawanya tinggal di Waksh, sebuah kota kecil yang sekarang disebut Tajikistan. 

Ayahnya, Muhammad ibn Husyain al-Khatibi atau dikenal Baha al-Din Walad, adalah seorang ulama besar (bermadzhab Hanafi) di masa kekuasaan Sultan Khawarizm Syah. Sekitar tahun 616 H/1219 M, pasukan Mongol bergerak semakin dekat. Baha al-Din meninggalkan Balkh bersama seluruh keluarga, mengetahui gerakan pasukan Mongol ia mungkin tidak akan pernah kembali.

Pada tahun 1220 M dari Baghdad, ia bertolak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari sini perjalanan diteruskan ke Damaskus, Malatiya, Arzinjan (Armenia), dan kemudian ke Zaranda. Pada tahun 1232 M Baha al-Din Walad diundang oleh Sultan Ala al-Din Kaiqubad (berkuasa 1219-1237 M) ke Ibu Kota dinasti Seljuk, Konya (Quniyah) sebuah provinsi Romawi kuno di Anatolia, dimana ia menetap di sana dan mengajar sampai wafatnya dua tahun kemudian pada tahun 628/ 1230-1231. 

Setelah kemangkatan ayahnya, Jalal al-Din Rumi melanjutkan peranannya sebagai guru dan mufti sampai wafatnya pada 5 Jumadi al-Akhir 672 H / 17 Desember 1273 M. Seorang penguasa bernama Badr al-Din Kahartasy kemudian membangun sekolah untuk Rumi. Nama sekolah itu adalah sekolah Khadawandakar. Sebagai direktur, Rumi meneruskan jejak ayahnya dalam pengajaran dan pendidikan. Namun, kedudukan yang cukup tinggi itu tidak menghalangi dia untuk tetap belajar, memperluas cakrawala pengetahuan dan memperdalam ilmu-ilmunya.

Sekolah yang dipimpin oleh Rumi semarak dan ramai. Tidak kurang dari empat ribu siswa belajar di sana. Rumi sendiri semakin termasyhur namanya sebagai ulama yang dihormati dan mendalam ilmunya. 

Di puncak kejayaannya ini Rumi bertemu dengan, seorang figur misterius yang bernama Syamsi Tabriz (Syams al-Din al-Tambrizi) tiba di Konya pada tahun 1244 M. Darwis muda dan tampan yang mencapai “penyaksian” (witness of contemplation) dan begitu menyita perhatian Rumi di setiap waktu. Saat itu usia Rumi 37 tahun, sementara Syamsi Tabriz berusia dua puluh atau tiga puluh tahun. Yang jelas usia Syams lebih muda dari Rumi.

Pertemuan dengan Syamsi Tabriz inilah yang akan mampu mengubah arus kehidupannya hampir secara drastis. Namun hal ini pula yang menyebabkan namanya semakin terkenal dan berpengaruh.

Ketertarikannya pada Syamsi Tabriz membuat Rumi mengabaikan pengajarannya, sehingga murid-muridnya menyalahkan Syamsi Tabriz dan mengejeknya “fakir berkaki telanjang dan tak berpenutup kepala yang datang untuk menyesatkan”. Ancaman mereka menyebabkan Syamsi Tabriz harus pergi tanpa memberi tahu Rumi. Namun Rumi berhasil menemukannya dan memintanya untuk kembali. Syamsi Tabriz memenuhinya Sayangnya kejadian ini terus berulang kembali sampai akhirnya Syams betul-betul menghilang—konon dibunuh. Selama masa ini, demi mengurangi kesedihan atas perpisahannya, Rumi menciptakan tarian mistis yang ia barengi dengan seruling. Ini menjadi awal bagi tarekat Maulawi, disebut tarian Darwis berputar, yang sampai sekarang tetap ada selama lebih dari 600 tahun. Perputaran itu dimaksudkan sebagai simbolisasi perputaran planet-planet di sekitar pusat matahari dan tarikan seluruh ciptaan kepada Sang Pencipta.

Rumi mengekspresikan kedalaman perasaan kehilangannya dalam puisi (kebanyakan berbentuk ghazal) yang menempatkan Syamsi Tabriz dalam kedudukannya sebagai pembimbing spiritual, dan seringkali berbicara melalui person Syamsi Tabriz. Untuk mengenang Syams, Rumi menyusun Diwan-i Syamsi Tabriz, yang merupakan sebuah koleksi syair-syair spiritual yang mengandung doktrin sufistik panteisme.

Setelah Syamsi Tabriz tiada, Rumi memperoleh sahabat spiritual yang sama dengan Shalah al-Din Zarkub (w.1258) dan kemudian Husam al-Din (w.1284-85), yang telah memberikan inspirasi bagi Rumi untuk mulai menyusun sajak-sajak yang kelak akan menjadi karyanya yang paling terkenal, Matsnawi.

Rumi wafat di Konya pada tahun 672/1273. Sejarah hidupnya digambarkan dalam karya-karya hagiografis (biografi berupa pujian dan keagungan seorang tokoh) tidak lama setelah wafatnya, seperti Manaqib al-Arifin.

Puisi dan ajaran-ajaran Rumi telah memberikan pengaruh bagi banyak umat Islam selama berabad-abad, dan sekarang ini bagi para pencari kebenaran spiritual di Eropa dan Amerika. Beberapa pemikir Islam modernis, diantaranya filosof penyair, Muhammad Iqbal juga amat dipengaruhi oleh Rumi.

Tak tanggung-tanggung filosof besar dari Jerman abad 19, George Wilhelm Friedrich Hegel begitu menghormati Rumi,  dan menyebutnya sebagai pemikir besar sebagaimana disebut juga sebagai Penyair besar.


Beragam Kecerdasan Jalal al-Din Rumi: Linguistik, Logika, Musik, 
Eksistensial dan Spiritual

Rumi memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari karyanya al-Matsnawi, sebuah karya puisi mystical-didactic yang panjangnya sekitar 25.000 bait syair. Ia mengandung suatu rangkaian gubahan syair, anekdot dan cerita. Masnavi mengilustrasikan praktek mistisisme yang berasal dari tradisi sufi Persia, memberikan penafsiran puitis atas makna al-Qur’an dan al-Hadits, dan menjelaskan terperinci pandangan Rumi tentang persoalan penting teologi Islam. Puisi-puisi dalam Masnawi merupakan nyayian jiwa yang ingin bersatu dengan Kekasihnya.

Begitu juga dalam karyanya Divan-e Kabir atau Kolliyat-e Shams-e Tabrizi, (Diwan-i Syamsi Tabrizi) kumpulan lirik-lirik puisi Rumi, termasuk 3.300 ghazal dan qasidah, bersama 2.000 kuatrain (ruba’iyah). Puisi-puisi ini dikarakteristikkan dengan perasaan mendalam atas keinginan dan kehilangan transenden. Sering berbentuk percakapan, tapi juga kaya dengan style filsafat, dan dengan musikalitas ritmis yang mempesona. Hasil adaptasi ke dalam bahasa Jerman oleh Friedrich Ruckert atas beberapa puisi ini telah memberikan kesan terhadap filosof Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel.

Dan tak diragukan lagi kecerdasan linguistik Rumi terpadu dengan kecerdasan eksistensial dan spiritual. Hampir semua bagian puisi dari Diwan dapat dikatakan merepresentasikan keadaan dan pengalaman spiritual yang khusus, seperti bersatu dengan Tuhan, perpisahan setelah persatuan, yang digambarkan dalam image dan simbol-simbl yang tepat. Walaupun Diwan mengandung bagian-bagian yang bersifat didaktik, secara keseluruhan ia menunjukkan sebagai sebuah koleksi dari kristalisasi dan   keadaan-keadaan spiritual dalam menjalani jalan Tuhan. Feeling yang terkandung secara menyeluruh dalam Diwan adalah mabuk spiritual dan cinta ekstatik.

Begitu juga dalam al-Matsnawi, meskipun tidak sedahsyat Diwan, Matsnawi tetap menunjukkan kekuatan spiritual, namun dalam keadaan relatif sadar. Ia merepresentasikan sebuah penjelasan rasional dari beragam dimensi kehidupan spiritual dan amalan-amalan bagi murid dalam menempuh jalan. Lebih umum lagi, tujuannya adalah bagi siapa saja yang memiliki untuk duduk dan merenungkan makna kehidupan dan eksistensi.

Karya besar Rumi, Matsnawi, merupakan ensiklopedia mistisisme. Namun banyak tema-tema besar yang terkandung dalam karyanya, tidak terbatas kepada dimensi spiritualitas saja, tetapi juga mengandung persoalan-persoalan kalam dan filsafat. Menurut Abu al-Hasan Ali al-Nadwi, Al-Matsnawi adalah sebuah revolusi terhadap ilmu kalam yang pernah kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.

R.A. Nicholson berkomentar tentang Masawi dan Diwan: “Yang satu seperti seuah sungai besar, tenang dan dalam, berkelok-kelok dengan landscap yang kaya dan bervariasi menuju samudera luas tak terukur. Yang satunya lagi arus buih yang meloncat dan terjun dalam kesunyian bukit.”

Sementara menurut William C. Chittick, bahwa al-Matsnawi, yang sering disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Persia”, sebagaimana firman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi bangsa Arab, al-Matsnawi mengandung esensi seluruh pengetahuan.Dalam level akademik Matsnawi merupakan kompendium mengenai semua pengetahuan Islam, dari hukum hingga astronomi.

Sosok Rumi dan ajarannya dirasakan kembali sebagai bentuk kehadiran yang diindukan oleh para pencari spiritual, karena “kerinduannya yang mendalam terhadap sesuatu yang lebih besar dari kita, sesuatu yang melimpahkan kekuatan, kekaguman, cinta dan keindahan. Ia merupakan perasaan untuk pulang ke rumah asal”.

Membaca puisi Rumi seperti sedang bercinta. Kita harus siap kehilangan diri kita di dalamnya, dengan begitu barulah kita akan menemukan Yang Lain, suatu energi besar yang meliputi kita.

Rumi menulis puisinya untuk mentransformasi pendengar dan pembacanya, mengeluarka mereka dari dirinya sendiri, membuat mereka mabuk dan Yang Ilahi. Dalam dunia dimana kita mengambang tanpa tujuan dalam realitas postmodern, dimana gambaran menipu kita dari pemahaman kita sendiri. Rumi memiliki sesuatu yang sangat penting untuk dikatakan kepada kita semua. Puisi-puisinya menyalakan api di dalam diri kita, sesuatu yang berpijar dengan pencarian untuk memperoleh tingkat yang lebih besar dari kesadaran dalam diri kita, untuk memecahkan kita dari bentuk  kesepian kita kepada yang lebih besar, keseluruhan hidup-yang tinggi

No comments:

Post a Comment