Kehidupan dan Karya
Nama Jalal
al-Din Rumi telah dikenal secara luas, dan telah lama dikenal di Barat sebagai
salah seorang sufi penyair terbesar yang menulis dalam bahasa Persia. Bersama
sufi besar lainnya, ia telah memberikan pengaruh bagi umat Islam (dan non
Islam) sepanjang sejarah hingga masa modern. Jika Syaikh Abd al-Qadir Jilani
(w.1166) disebut Kutub (Quthb)
Kekuatan, Ibn Arabi (1165-1249) sebagai Kutub Pengetahuan, Rumi (1207-1273)
disebut sebagai Kutub Cinta. Melalui Rumi, hadir suatu transmisi Ketuhanan ke
planet ini melalui wilayah cinta. Puisi-puisinya merupakan sebuah pengalaman
dari kehidupan pada titik pusat terdalam. Dalam setiap wujud manusia terdapat
pertemuan dengan aspek Ketuhanan. Tempat pertemuan itu adalah hati.
Jalal al-Din Rumi, yang secara umum di kenal di Timur sebagai Mawlana atau Mawlawi, (yang berarti guru atau tuan kami) lahir di Asia tengah, di Balkh (sekarang Afghanistan), pada 6 Rabi al-Awal 1604 H/ 30 September 1207 M. Nama sesungguhnya adalah Jalal al-Din Muhammad Balkhi, yang setelah lahir ayahnya membawanya tinggal di Waksh, sebuah kota kecil yang sekarang disebut Tajikistan.
Ayahnya, Muhammad ibn Husyain al-Khatibi atau dikenal Baha al-Din Walad, adalah seorang ulama besar (bermadzhab Hanafi) di masa kekuasaan Sultan Khawarizm Syah. Sekitar tahun 616 H/1219 M, pasukan Mongol bergerak semakin dekat. Baha al-Din meninggalkan Balkh bersama seluruh keluarga, mengetahui gerakan pasukan Mongol ia mungkin tidak akan pernah kembali.
Pada tahun
1220 M dari Baghdad, ia bertolak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari
sini perjalanan diteruskan ke Damaskus, Malatiya, Arzinjan (Armenia), dan
kemudian ke Zaranda. Pada tahun 1232 M Baha al-Din Walad diundang oleh Sultan
Ala al-Din Kaiqubad (berkuasa 1219-1237 M) ke Ibu Kota dinasti Seljuk, Konya (Quniyah) sebuah provinsi Romawi kuno di
Anatolia, dimana ia menetap di sana dan mengajar sampai wafatnya dua tahun
kemudian pada tahun 628/ 1230-1231.
Setelah
kemangkatan ayahnya, Jalal al-Din Rumi melanjutkan peranannya sebagai guru dan
mufti sampai wafatnya pada 5 Jumadi al-Akhir 672 H / 17 Desember 1273 M.
Seorang penguasa bernama Badr al-Din Kahartasy kemudian membangun sekolah untuk
Rumi. Nama sekolah itu adalah sekolah Khadawandakar. Sebagai direktur, Rumi
meneruskan jejak ayahnya dalam pengajaran dan pendidikan. Namun, kedudukan yang
cukup tinggi itu tidak menghalangi dia untuk tetap belajar, memperluas
cakrawala pengetahuan dan memperdalam ilmu-ilmunya.
Sekolah yang
dipimpin oleh Rumi semarak dan ramai. Tidak kurang dari empat ribu siswa
belajar di sana. Rumi sendiri semakin termasyhur namanya sebagai ulama yang
dihormati dan mendalam ilmunya.
Di puncak
kejayaannya ini Rumi bertemu dengan, seorang figur misterius yang bernama
Syamsi Tabriz (Syams al-Din al-Tambrizi) tiba di Konya pada tahun 1244 M.
Darwis muda dan tampan yang mencapai “penyaksian” (witness of contemplation)
dan begitu menyita perhatian Rumi di setiap waktu. Saat itu usia Rumi 37 tahun,
sementara Syamsi Tabriz berusia dua puluh atau tiga puluh tahun. Yang jelas
usia Syams lebih muda dari Rumi.
Pertemuan
dengan Syamsi Tabriz inilah yang akan mampu mengubah arus kehidupannya hampir
secara drastis. Namun hal ini pula yang menyebabkan namanya semakin terkenal
dan berpengaruh.
Ketertarikannya
pada Syamsi Tabriz membuat Rumi mengabaikan pengajarannya, sehingga
murid-muridnya menyalahkan Syamsi Tabriz dan mengejeknya “fakir berkaki
telanjang dan tak berpenutup kepala yang datang untuk menyesatkan”. Ancaman
mereka menyebabkan Syamsi Tabriz harus pergi tanpa memberi tahu Rumi. Namun
Rumi berhasil menemukannya dan memintanya untuk kembali. Syamsi Tabriz
memenuhinya Sayangnya kejadian ini terus berulang kembali sampai akhirnya Syams
betul-betul menghilang—konon dibunuh. Selama masa ini, demi mengurangi
kesedihan atas perpisahannya, Rumi menciptakan tarian mistis yang ia barengi
dengan seruling. Ini menjadi awal bagi tarekat Maulawi, disebut tarian Darwis
berputar, yang sampai sekarang tetap ada selama lebih dari 600 tahun.
Perputaran itu dimaksudkan sebagai simbolisasi perputaran planet-planet di
sekitar pusat matahari dan tarikan seluruh ciptaan kepada Sang Pencipta.
Rumi
mengekspresikan kedalaman perasaan kehilangannya dalam puisi (kebanyakan
berbentuk ghazal) yang menempatkan
Syamsi Tabriz dalam kedudukannya sebagai pembimbing spiritual, dan seringkali
berbicara melalui person Syamsi Tabriz. Untuk mengenang Syams, Rumi menyusun Diwan-i Syamsi Tabriz, yang merupakan
sebuah koleksi syair-syair spiritual yang mengandung doktrin sufistik
panteisme.
Setelah
Syamsi Tabriz tiada, Rumi memperoleh sahabat spiritual yang sama dengan Shalah
al-Din Zarkub (w.1258) dan kemudian Husam al-Din (w.1284-85), yang telah
memberikan inspirasi bagi Rumi untuk mulai menyusun sajak-sajak yang kelak akan
menjadi karyanya yang paling terkenal, Matsnawi.
Rumi wafat
di Konya pada tahun 672/1273. Sejarah hidupnya digambarkan dalam karya-karya
hagiografis (biografi berupa pujian dan keagungan seorang tokoh) tidak lama
setelah wafatnya, seperti Manaqib
al-Arifin.
Puisi dan
ajaran-ajaran Rumi telah memberikan pengaruh bagi banyak umat Islam selama
berabad-abad, dan sekarang ini bagi para pencari kebenaran spiritual di Eropa
dan Amerika. Beberapa pemikir Islam modernis, diantaranya filosof penyair,
Muhammad Iqbal juga amat dipengaruhi oleh Rumi.
Tak
tanggung-tanggung filosof besar dari Jerman abad 19, George Wilhelm Friedrich
Hegel begitu menghormati Rumi, dan
menyebutnya sebagai pemikir besar sebagaimana disebut juga sebagai Penyair
besar.
Beragam Kecerdasan
Jalal al-Din Rumi: Linguistik, Logika, Musik,
Eksistensial dan Spiritual
Eksistensial dan Spiritual
Rumi
memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari karyanya
al-Matsnawi, sebuah karya puisi mystical-didactic yang panjangnya
sekitar 25.000 bait syair. Ia mengandung suatu rangkaian gubahan syair, anekdot
dan cerita. Masnavi mengilustrasikan
praktek mistisisme yang berasal dari tradisi sufi Persia, memberikan penafsiran
puitis atas makna al-Qur’an dan al-Hadits, dan menjelaskan terperinci pandangan
Rumi tentang persoalan penting teologi Islam. Puisi-puisi dalam Masnawi merupakan nyayian jiwa yang
ingin bersatu dengan Kekasihnya.
Begitu juga
dalam karyanya Divan-e Kabir atau
Kolliyat-e Shams-e Tabrizi, (Diwan-i Syamsi Tabrizi) kumpulan lirik-lirik puisi Rumi,
termasuk 3.300 ghazal dan qasidah, bersama 2.000 kuatrain (ruba’iyah). Puisi-puisi ini
dikarakteristikkan dengan perasaan mendalam atas keinginan dan kehilangan
transenden. Sering berbentuk percakapan, tapi juga kaya dengan style filsafat,
dan dengan musikalitas ritmis yang mempesona. Hasil adaptasi ke dalam bahasa
Jerman oleh Friedrich Ruckert atas beberapa puisi ini telah memberikan kesan
terhadap filosof Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
Dan tak
diragukan lagi kecerdasan linguistik Rumi terpadu dengan kecerdasan
eksistensial dan spiritual. Hampir semua bagian puisi dari Diwan dapat dikatakan merepresentasikan keadaan dan pengalaman
spiritual yang khusus, seperti bersatu dengan Tuhan, perpisahan setelah
persatuan, yang digambarkan dalam image dan simbol-simbl yang tepat. Walaupun Diwan mengandung bagian-bagian yang
bersifat didaktik, secara keseluruhan ia menunjukkan sebagai sebuah koleksi
dari kristalisasi dan keadaan-keadaan
spiritual dalam menjalani jalan Tuhan. Feeling
yang terkandung secara menyeluruh dalam Diwan
adalah mabuk spiritual dan cinta ekstatik.
Begitu juga
dalam al-Matsnawi, meskipun tidak sedahsyat Diwan, Matsnawi tetap
menunjukkan kekuatan spiritual, namun dalam keadaan relatif sadar. Ia merepresentasikan sebuah penjelasan rasional
dari beragam dimensi kehidupan spiritual dan amalan-amalan bagi murid dalam
menempuh jalan. Lebih umum lagi, tujuannya adalah bagi siapa saja yang memiliki
untuk duduk dan merenungkan makna kehidupan dan eksistensi.
Karya besar
Rumi, Matsnawi, merupakan
ensiklopedia mistisisme. Namun banyak tema-tema besar yang terkandung dalam
karyanya, tidak terbatas kepada dimensi spiritualitas saja, tetapi juga
mengandung persoalan-persoalan kalam dan filsafat. Menurut Abu al-Hasan Ali
al-Nadwi, Al-Matsnawi adalah sebuah
revolusi terhadap ilmu kalam yang pernah kehilangan semangat dan kekuatannya.
Isinya juga mengritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui
batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
R.A.
Nicholson berkomentar tentang Masawi dan
Diwan: “Yang satu seperti seuah sungai
besar, tenang dan dalam, berkelok-kelok dengan landscap yang kaya dan
bervariasi menuju samudera luas tak terukur. Yang satunya lagi arus buih yang
meloncat dan terjun dalam kesunyian bukit.”
Sementara
menurut William C. Chittick, bahwa al-Matsnawi, yang sering disebut sebagai
“al-Qur’an dalam bahasa Persia”, sebagaimana firman Tuhan yang diwahyukan
kepada Nabi bangsa Arab, al-Matsnawi mengandung esensi seluruh
pengetahuan.Dalam level akademik Matsnawi
merupakan kompendium mengenai semua pengetahuan Islam, dari hukum hingga
astronomi.
Sosok Rumi
dan ajarannya dirasakan kembali sebagai bentuk kehadiran yang diindukan oleh
para pencari spiritual, karena “kerinduannya yang mendalam terhadap sesuatu
yang lebih besar dari kita, sesuatu yang melimpahkan kekuatan, kekaguman, cinta
dan keindahan. Ia merupakan perasaan untuk pulang ke rumah asal”.
Membaca
puisi Rumi seperti sedang bercinta. Kita harus siap kehilangan diri kita di
dalamnya, dengan begitu barulah kita akan menemukan Yang Lain, suatu energi
besar yang meliputi kita.
Rumi
menulis puisinya untuk mentransformasi pendengar dan pembacanya, mengeluarka
mereka dari dirinya sendiri, membuat mereka mabuk dan Yang Ilahi. Dalam dunia
dimana kita mengambang tanpa tujuan dalam realitas postmodern, dimana gambaran
menipu kita dari pemahaman kita sendiri. Rumi memiliki sesuatu yang sangat
penting untuk dikatakan kepada kita semua. Puisi-puisinya menyalakan api di
dalam diri kita, sesuatu yang berpijar dengan pencarian untuk memperoleh
tingkat yang lebih besar dari kesadaran dalam diri kita, untuk memecahkan kita
dari bentuk kesepian kita kepada yang
lebih besar, keseluruhan hidup-yang tinggi
No comments:
Post a Comment