Saturday, February 21, 2015

Ibn Khaldun Sang Jenius Bahasa, Hukum, Sosiologi, Sejarah dan Kebudayaan



Kehidupan dan Karya 

Ibn Khaldun lahir di Tunis pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M, dalam keluarga Arab yang berasal dari Hadramaut dan telah menetap di Seville (abad 8 M) sejak awal bersama penaklukkan kota ini oleh umat Islam. Keluarga ini memainkan peranan politik yang cukup penting. Namun kemudian keluarga ini meninggalkan Sevilla ke Ceuta dengan segera setelah reconquista (penaklukkan) oleh pasukan Kristen. Dari sana mereka pergi ke Afrika Utara dan menetap di Tunis selama masa kekuasaan Hafs Abu Zakariyya (625-647 H/1228-1249 M), dari dinasti Bani Hafs. 

Dilihat dari garis keturunannya, Ibn Khaldun merupakan perpaduan dari pribadi ulama, sarjana dan negarawan.  Kata Franz Rosenthal, kecintaan pada ilmu dan kontemplasi nampak pada diri ayah Ibn Khaldun dan kakeknya; dan leluhur mereka terkenal dengan ambisi politik tingkat tinggi. Lalu hal ini menghasilkan paduan yang mengagumkan antara sarjana dan negarawan yang kita temukan pada diri Ibn Khaldun.  Keluarga Ibn Khaldun memang terkenal  sebagai keluarga yang berpengetahuan luas dan berpangkat serta menduduki jabatan-jabatan kenegaraan yang tinggi. Latar belakang ini menjadi semacam persiapan bagi pembentukan kepribadian Ibn Khaldun yang kelak menempuh perjalanan hidup sebagai seorang negarawan dan cendikiawan sekaligus.


Ibn Khaldun mendapatkan pendidikan tradisional yang menjadi ciri khas pada masanya. Pertama-tama ia belajar bersama ayahnya. Ibn Khaldun menghafalkan al-Qur’an, mempelajari tata bahasa, hukum, hadits, retorika, filologi, dan puisi. Ia pun menguasai dengan baik semua subjek ini dan menerima pujian atasnya.

Ibn Khaldun menjalani studi lengkap di universitas Tunisia (masjid Quba). Ia sangat puas dengan keberhasilan ilmiah yang dicapainya, sebagaimana ia menyebut sejumlah guru-gurunya, khususnya al-Abili yang disebutnya sebagai “guru besar ilmu pengetahuan berbasis akal”.

Selama masa pendidikan formal itu Ibn Khaldun mempelajari bahasa kepada para ahli seperti Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn al-Arabi al-Hasayiri, Abu al-Abbas Ahmad ibn al-Qusar dan Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Bahr. Ibn Khaldun mempelajari hadits kepada  Syams al-Din Abu ‘Abd Allah al-Wadiyasyi. Dalam bidang fikih Ibn Khaldun belajar kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qasim Muhammad  al-Qasir. Ia juga belajar ilmu rasional seperti filsafat da kalam, logika, ilmu alam, matematika dan astronomi kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili. Dari pendidikannya itu nampak bahwa pengetahuan Ibn Khaldun bercorak ensiklopedik.

Namun pendidikan formal Ibn Khaldun hanya sampai usia 17 tahun. Seusai usia 17 tahun dia memasuki periode belajar sendiri  meneruskan apa yang telah didapatnya pada masa pendidikan formal, di samping ia memegang jabatan qadi, diplomat, guru pada berbagai kesempatan. Namun selama masa-masa petualangan politiknya, Ibn Khaldun tidak pernah jauh dari komunitas  cendikiawan baik di Tunis, Granada, apalagi Mesir.

Kehidupan Ibn Khaldun dapat dibagi ke dalam tiga bagian: pertama, sejak masa kanak-kanak dan masa pendidikan (selama 20 tahun dari 1332-1352 M); kedua, melanjutkan pendidikannya dan petualangan politik (selama 23 tahun, dari 1352-1375 M); ketiga, menjalani hidup sebagai seorang sarjana, guru dan hakim (selama 31 tahun, dari 1375-1406 M). Dua periode yang pertama dihabiskan di wilayah Islam bagian timur, dan periode ketiga dapat dibagi antara Maghrib dan Mesir.

Sementara Zainab al-Khudairi membaginya menjadi empat fase, yaitu: Pertama, Fase studi hingga berusia 20 tahun yang dilalui di Tunis. Kedua, berkecimpung di bidang politik. Fase ini berlangsung lebih dari  20 tahun. Ketiga, Fase pemikiran dan kontemplasi di Benteng Ibn salamah milik Bani ‘Arif. Fase ini berlangsung selama 4 tahun. Keempat, fase bergerak di bidang pengajaran dan peradilan. Adakalanya pada fase ini khusus untuk mengajar saja, yaitu ketika berada di Tunis tahun 780 H-784 H. Sedangkan ketika menetap di Mesir, Ibn Khaldun melakukan keduanya.

Karya Ibn Khaldun yang terkenal adalah al-Muqaddimah. Pada mulanya al-Muqaddimah merupakan pendahuluan bagi karyanya al-‘Ibar. Namun memandang pentingnya karya ini maka ia pun dipisahkan dari al-‘Ibar, dan dicetak, dikaji dan diterjemahkan secara terpisah. Apalagi, seperti kata Rosenthal, al-Muqaddimah secara tajam menunjukkan garis besar pemikiran filsafatnya dan memberikan pandangan kepada karya pikirannya.

Karya ini ditulis oleh Ibn Khaldun selama lima bulan, ketika ia berada dalam pengasingan di Qal’at Ibn Salamah. Saat itu Ibn Khaldun telah mencapai masa kematangan dalam pengalaman-pengalaman politik yang telah dilaluinya sejak ia meninggalkan Tunis di usia sekitar 20 tahun. Hal ini menjadi salah satu sumber penting yang memperkaya wawasan yang dikandung oleh al-Muqaddimah. Syafii Maarif menyatakan, karya ini merupakan hasil renungan teoritisnya plus pengalaman empirisnya sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam pergolakan dan intrik-intrik politik di Afrika Utara dan Granada.

al-Muqaddimah menunjukkan hubungan yang erat dengan pengalaman politik penulisnya, yang begitu manyadari bahwa ia menyaksikan perubahan besar dalam rangkaian sejarah, yang karenanya ia berpandangan dibutuhkannya untuk menulis sebuah ringkasan mengenai masa lalu manusia dan menarik pelajaran (‘ibar) darinya. Sehingga kata Rosenthal, here was a man with a great mind, who combined action with thought.

Sumber-sumber pemikiran al-Muqaddimah banyak diilhami oleh sumber ajaran utama Islam, yakni al-Qur’an. Corak khas pemikiran Ibn Khaldun, antara lain, berusaha mengintegrasikan pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rushd yang kerap bertentangan. Al-Ghazali  banyak menentang pandangan Aristoteles, sementara Ibn Rusyd banyak mengadopsi pemikiran Aristoteles. al-Muqaddimah juga memuat gagasan dan informasi dari para sejarawan yang mendahuluinya, disamping sumber-sumber Hellenistik. 

Karya Ibn Khaldun bersama Muqaddimah-nya adalah al-Ibar. Menurut Syafii Maarif, perkataan ‘Ibar (bentuk jamak dari ‘ibrah) yang digunakan Ibn Khaldun dalam judul bukunya, berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna. Perkataan ini tampaknya merupakan kata kunci dalam teori sejarah Ibn Khaldun. Maka judul lengkap dari karyanya ialah: Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar  ‘Asharahum min Dzawi al-Sulthan al-Akbar (Kitab al-Ibar dan Rekaman Asal-usul  dan Peristiwa dari Harihari Bangsa Arab, Persia dan Barbar, dan Orang-orang yang Sezaman dengan Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar)


Beragam Kecerdasan Ibn Khaldun: Bahasa, Logika, Visual, Spasial, Interpersonal

Ibn Khaldun telah melakukan petualangan politik di wilayah kekuasaan Islam dari Tunisia, Andalusia hingga Mesir. Hal ini memberikan pengalaman dan wawasan yang luas mengenai kehidupan sosial masyarakat Islam. Ia juga mengenal karakteristik pemerintahan hingga kehidupan masyarakat badui. Ibn Khaldun dapat diterima di lingkungan yang berbeda-beda karena sifatnya yang menarik. Nampaknya Ibn Khaldun memiliki kecerdasan interpersonal yang bagus.

Pada tahun 765 H/1364 M Ibn Khaldun dikirim ke Seville sebagai duta besar, ditugaskan dengan sebuah misi diplomatik  menemui Pedro The Cruel dari Castila, untuk menandatangani perjanjian damai diantara kedua negara. Hubungan dengan dunia kristen ini telah memberikan pengaruh baginya. Penguasa Kristen bukan hanya menghormati Ibn Khaldun tetapi juga berusaha menggaetnya lewat tawaran membuka kembali perkebunan keluarga Khaldun di Sevilla. Namun Ibn Khaldun menolak hal tawaran tu. Dalam Ta’rif, Ibn Khaldun memaparkannya:

“Aku pun menghadap sang raja Si Kejam di Sevilla. Aku kemukakan kepadanya peninggalan-peninggalan para leluhurku di sana. Ia memperlakukanku dengan begitu hormat. Ia segan terhadap kedudukanku. Ia mengetahui asal usul leluhurku di Sevilla. Dokter pribadinya, Ibrahim ibn Zurzur seorang Yahudi, memujiku ketika menemuinya...raja si Kejam ketika itu memintaku agar tinggal bersamanya dengan janji akan mengembalikan harta peninggalan leluhurku di Sevilla yang ketika itu berada dalam kekuasaan pembesar negeri tersebut. Aku menolak tawarannya itu.”
           
Sewaktu Ibn Khaldun berada di Mesir, ibu kota kerajaan Mamluk, yang saat itu penguasanya adalah sultan Zahir al-Din Barquq, ternyata Ibn Khaldun betul-betul menarik perhatian. Murid-murid langsung berkumpul menghadiri pengajarannya di al-Azhar. Ia juga memiliki kesempatan untuk bertemu dengan sultan Zahir al-Din yang kemudian mengangkatnya menjadi guru besar madzhab hukum Maliki di Madrasah al-Qamhiyyah. Kemudian ia diangkat sebagai hakim Maliki (Jumada  akhir 782 H/Juli-Agustus 1384 M).

Ibn Khaldun juga berhasil menarik simpatik Timur Lenk. Penakluk dari Mongol ini menerima Ibn Khaldun dengan baik ketika Ibn Khaldun datang menemuinya. Ibn Khaldun tinggal di kemahnya selama 35 hari. Selama itu Ibn Khaldun melakukan banyak pertemuan dengan Timur Lenk, bercakap-cakap melalui penerjemah, Abd al-Jabbar al-Khawarizmi (w.1403 M). Beberapa topik pembicarannya antara lain: 1) sejarah wilayah Maghrib; 2) Pahlawan-pahlawan dalam sejarah; 3) Prediksi atas sesuatu yang akan terjadi; 4) Khilafah Abasiyah; 5) Amnesti dan jaminan keamanan bagi Ibn Khaldun dan temannya; 6)  Maksud Ibn Khaldun tinggal bersama Timur Lenk. Pemikir Arab ini juga diminta menulis risalah tentang Afrika Utara oleh Timur Lenk.             

Setelah pertemuan dengan Timur Lenk, Ibn Khaldun kembali ke Mesir. Ibn Khaldun diterima dengan baik di istana. Selama empat kali ia diangkat menjadi Qadi dan kemudian berhenti. Terakhir,  ia diangkat menjabat lagi untuk ke enam kalinya, pada bulan Sya’ban 808 H/Januari-Februari 1406 M, hanya  beberapa minggu sebelum wafatnya pada 26 Ramadhan 808 H/16 Maret 1406 M.     
              
Selain kecerdasan interpersonalnya yang menonjol, Ibn Khaldun juga memiliki logika dan visual. Kecerdasan logika dan visualnya terlihat dari kemampuannya dalam memahamani hukum-hukum yang mengendalikan masyarakat dan sejarah dari hasil pengamatan dan pengalamannya sendiri. Ia mampu memahami dinamika dan pertumbuhan sebuah negara. Hal inilah yang dia tuangkan dalam karya monumentalnya al-Muqaddimah dan al-Ibar.

Dengan karyanya al-Muqaddimah yang sering disebut-sebut sebagai karya pertama historografi dan pelopor  bagi disiplin ilmu modern seperti antropologi, sosiologi, ekonomi dan politik. Bahkan kata Bryan S. Turner, Ibn Khaldun seringkali disebut sebagai the father of sociology.

Dalam bidang-bidang yang dikajinya itu Ibn Khaldun menunjukkan kepiawaiannya, dan dengan tepat meletakkan ke dalam sistem pemikiran dan teori filsafat sejarahnya. Atas keahlian Ibn Khaldun itu Dimitri Gutas menyatakan bahwa Ibn Khaldun adalah seorang ahli sejarah, sarjana, dan politisi, pemikir pertama yang mengartikulasikan sebuah teori yang komprehensif mengenai historiografi dan filsafat sejarah dalam al-Muqaddimah sebagai pengantar bagi karyanya Kitab al-Ibar. Sementara itu menurut Harun Nasution, Ibn Khaldun adalah ahli sejarah terbesar dalam Islam yang menulis sejarah dengan mempertalikan  perkembangannya dengan keadaan geografis dan cuaca setempat serta kekuatan-kekuatan moral dan spiritual bangsa bersangkutan.

Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun telah menciptakan apa yang disebutnya sebagai ilmu yang sepenuhnya baru. Ia membangun metodologi saintifik bagi historiografi dengan membuat sebuah teori mengenai hukum-hukum dasar yang beroperasi dalam sejarah, sehingga perisitiwa itu tidak hanya terjadi di masa lalu tetapi juga “bagaimana dan kenapa peristiwa terjadi” menjadi dapat dipahami.

No comments:

Post a Comment