Kehidupan dan Karya
Ibn Khaldun lahir di Tunis pada 1 Ramadhan
732 H/ 27 Mei 1332 M, dalam keluarga Arab yang berasal dari Hadramaut dan telah
menetap di Seville (abad 8 M) sejak awal bersama penaklukkan kota ini oleh umat
Islam. Keluarga ini memainkan peranan politik yang cukup penting. Namun
kemudian keluarga ini meninggalkan Sevilla ke Ceuta dengan segera setelah reconquista (penaklukkan) oleh pasukan
Kristen. Dari sana mereka pergi ke
Afrika Utara dan menetap di Tunis selama masa kekuasaan Hafs Abu Zakariyya
(625-647 H/1228-1249 M), dari dinasti Bani Hafs.
Dilihat dari garis keturunannya, Ibn
Khaldun merupakan perpaduan dari pribadi ulama, sarjana dan negarawan. Kata Franz Rosenthal, kecintaan pada ilmu dan
kontemplasi nampak pada diri ayah Ibn Khaldun dan kakeknya; dan leluhur mereka
terkenal dengan ambisi politik tingkat tinggi. Lalu hal ini menghasilkan paduan
yang mengagumkan antara sarjana dan negarawan yang kita temukan pada diri Ibn
Khaldun. Keluarga Ibn Khaldun memang
terkenal sebagai keluarga yang
berpengetahuan luas dan berpangkat serta menduduki jabatan-jabatan kenegaraan
yang tinggi. Latar belakang ini menjadi semacam persiapan bagi pembentukan
kepribadian Ibn Khaldun yang kelak menempuh perjalanan hidup sebagai seorang
negarawan dan cendikiawan sekaligus.
Ibn Khaldun mendapatkan pendidikan
tradisional yang menjadi ciri khas pada masanya. Pertama-tama ia belajar
bersama ayahnya. Ibn Khaldun menghafalkan al-Qur’an, mempelajari tata bahasa,
hukum, hadits, retorika, filologi, dan puisi. Ia pun menguasai dengan baik
semua subjek ini dan menerima pujian atasnya.
Ibn Khaldun menjalani studi lengkap di
universitas Tunisia (masjid Quba). Ia sangat puas dengan keberhasilan ilmiah
yang dicapainya, sebagaimana ia menyebut sejumlah guru-gurunya, khususnya
al-Abili yang disebutnya sebagai “guru besar ilmu pengetahuan berbasis akal”.
Selama masa pendidikan formal itu Ibn
Khaldun mempelajari bahasa kepada para ahli seperti Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn
al-Arabi al-Hasayiri, Abu al-Abbas Ahmad ibn al-Qusar dan Abu ‘Abd Allah
Muhammad ibn Bahr. Ibn Khaldun mempelajari hadits kepada Syams al-Din Abu ‘Abd Allah al-Wadiyasyi.
Dalam bidang fikih Ibn Khaldun belajar kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad al-Jiyani
dan Abu al-Qasim Muhammad al-Qasir. Ia
juga belajar ilmu rasional seperti filsafat da kalam, logika, ilmu alam,
matematika dan astronomi kepada Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ibrahim al-Abili.
Dari pendidikannya itu nampak bahwa pengetahuan Ibn Khaldun bercorak
ensiklopedik.
Namun pendidikan formal Ibn Khaldun hanya
sampai usia 17 tahun. Seusai usia 17 tahun dia memasuki periode belajar
sendiri meneruskan apa yang telah
didapatnya pada masa pendidikan formal, di samping ia memegang jabatan qadi, diplomat, guru pada berbagai
kesempatan. Namun selama masa-masa petualangan politiknya, Ibn Khaldun tidak
pernah jauh dari komunitas cendikiawan
baik di Tunis, Granada, apalagi Mesir.
Kehidupan Ibn Khaldun dapat dibagi ke
dalam tiga bagian: pertama, sejak masa kanak-kanak dan masa pendidikan
(selama 20 tahun dari 1332-1352 M); kedua,
melanjutkan pendidikannya dan petualangan politik (selama 23 tahun, dari
1352-1375 M); ketiga, menjalani hidup
sebagai seorang sarjana, guru dan hakim (selama 31 tahun, dari 1375-1406 M).
Dua periode yang pertama dihabiskan di wilayah Islam bagian timur, dan periode
ketiga dapat dibagi antara Maghrib dan Mesir.
Sementara Zainab al-Khudairi membaginya
menjadi empat fase, yaitu: Pertama, Fase
studi hingga berusia 20 tahun yang dilalui di Tunis. Kedua, berkecimpung di bidang politik. Fase ini berlangsung lebih
dari 20 tahun. Ketiga, Fase pemikiran dan kontemplasi di Benteng Ibn salamah milik
Bani ‘Arif. Fase ini berlangsung selama 4 tahun. Keempat, fase bergerak di bidang pengajaran dan peradilan.
Adakalanya pada fase ini khusus untuk mengajar saja, yaitu ketika berada di
Tunis tahun 780 H-784 H. Sedangkan ketika menetap di Mesir, Ibn Khaldun
melakukan keduanya.
Karya Ibn Khaldun yang
terkenal adalah al-Muqaddimah. Pada mulanya al-Muqaddimah merupakan pendahuluan bagi karyanya al-‘Ibar. Namun memandang pentingnya
karya ini maka ia pun dipisahkan dari al-‘Ibar,
dan dicetak, dikaji dan diterjemahkan secara terpisah. Apalagi, seperti
kata Rosenthal, al-Muqaddimah secara
tajam menunjukkan garis besar pemikiran filsafatnya dan memberikan pandangan
kepada karya pikirannya.
Karya ini ditulis oleh
Ibn Khaldun selama lima bulan, ketika ia berada dalam pengasingan di Qal’at Ibn Salamah. Saat itu Ibn Khaldun
telah mencapai masa kematangan dalam pengalaman-pengalaman politik yang telah
dilaluinya sejak ia meninggalkan Tunis di usia sekitar 20 tahun. Hal ini
menjadi salah satu sumber penting yang memperkaya wawasan yang dikandung oleh al-Muqaddimah. Syafii Maarif menyatakan,
karya ini merupakan hasil renungan teoritisnya plus pengalaman empirisnya
sebagai tokoh yang terlibat langsung dalam pergolakan dan intrik-intrik politik
di Afrika Utara dan Granada.
al-Muqaddimah
menunjukkan hubungan yang erat dengan pengalaman politik penulisnya, yang
begitu manyadari bahwa ia menyaksikan perubahan besar dalam rangkaian sejarah,
yang karenanya ia berpandangan dibutuhkannya untuk menulis sebuah ringkasan
mengenai masa lalu manusia dan menarik pelajaran (‘ibar) darinya. Sehingga kata Rosenthal, here was a man with a great mind, who combined action with thought.
Sumber-sumber pemikiran al-Muqaddimah banyak diilhami oleh
sumber ajaran utama Islam, yakni al-Qur’an. Corak khas pemikiran Ibn Khaldun,
antara lain, berusaha mengintegrasikan pemikiran al-Ghazali dan Ibn Rushd yang
kerap bertentangan. Al-Ghazali banyak
menentang pandangan Aristoteles, sementara Ibn Rusyd banyak mengadopsi
pemikiran Aristoteles. al-Muqaddimah juga
memuat gagasan dan informasi dari para sejarawan yang mendahuluinya, disamping
sumber-sumber Hellenistik.
Karya Ibn Khaldun bersama Muqaddimah-nya
adalah al-Ibar. Menurut Syafii Maarif, perkataan ‘Ibar (bentuk jamak dari ‘ibrah) yang digunakan Ibn Khaldun dalam judul
bukunya, berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna. Perkataan ini
tampaknya merupakan kata kunci dalam teori sejarah Ibn Khaldun. Maka judul
lengkap dari karyanya ialah: Kitab
al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa
al-Barbar ‘Asharahum min Dzawi
al-Sulthan al-Akbar (Kitab al-Ibar
dan Rekaman Asal-usul dan Peristiwa dari
Harihari Bangsa Arab, Persia dan Barbar, dan Orang-orang yang Sezaman dengan
Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar)
Beragam Kecerdasan Ibn
Khaldun: Bahasa, Logika, Visual, Spasial, Interpersonal
Ibn Khaldun
telah melakukan petualangan politik di wilayah kekuasaan Islam dari Tunisia,
Andalusia hingga Mesir. Hal ini memberikan pengalaman dan wawasan yang luas
mengenai kehidupan sosial masyarakat Islam. Ia juga mengenal karakteristik
pemerintahan hingga kehidupan masyarakat badui. Ibn Khaldun dapat diterima di
lingkungan yang berbeda-beda karena sifatnya yang menarik. Nampaknya Ibn
Khaldun memiliki kecerdasan interpersonal yang bagus.
Pada tahun 765 H/1364 M Ibn Khaldun
dikirim ke Seville sebagai duta besar, ditugaskan dengan sebuah misi
diplomatik menemui Pedro The Cruel dari Castila, untuk
menandatangani perjanjian damai diantara kedua negara. Hubungan dengan dunia
kristen ini telah memberikan pengaruh baginya. Penguasa Kristen bukan hanya
menghormati Ibn Khaldun tetapi juga berusaha menggaetnya lewat tawaran membuka
kembali perkebunan keluarga Khaldun di Sevilla. Namun Ibn Khaldun menolak hal
tawaran tu. Dalam Ta’rif, Ibn Khaldun
memaparkannya:
“Aku pun menghadap sang raja Si Kejam di Sevilla. Aku
kemukakan kepadanya peninggalan-peninggalan para leluhurku di sana. Ia
memperlakukanku dengan begitu hormat. Ia segan terhadap kedudukanku. Ia
mengetahui asal usul leluhurku di Sevilla. Dokter pribadinya, Ibrahim ibn
Zurzur seorang Yahudi, memujiku ketika menemuinya...raja si Kejam ketika itu
memintaku agar tinggal bersamanya dengan janji akan mengembalikan harta
peninggalan leluhurku di Sevilla yang ketika itu berada dalam kekuasaan
pembesar negeri tersebut. Aku menolak tawarannya itu.”
Sewaktu Ibn
Khaldun berada di Mesir, ibu kota kerajaan Mamluk, yang saat itu penguasanya
adalah sultan Zahir al-Din Barquq, ternyata Ibn Khaldun betul-betul menarik
perhatian. Murid-murid langsung berkumpul menghadiri pengajarannya di al-Azhar.
Ia juga memiliki kesempatan untuk bertemu dengan sultan Zahir al-Din yang
kemudian mengangkatnya menjadi guru besar madzhab hukum Maliki di Madrasah
al-Qamhiyyah. Kemudian ia diangkat sebagai hakim Maliki (Jumada akhir 782 H/Juli-Agustus 1384 M).
Ibn Khaldun
juga berhasil menarik simpatik Timur Lenk. Penakluk dari Mongol ini menerima
Ibn Khaldun dengan baik ketika Ibn Khaldun datang menemuinya. Ibn Khaldun
tinggal di kemahnya selama 35 hari. Selama itu Ibn Khaldun melakukan banyak
pertemuan dengan Timur Lenk, bercakap-cakap melalui penerjemah, Abd al-Jabbar
al-Khawarizmi (w.1403 M). Beberapa topik pembicarannya antara lain: 1) sejarah
wilayah Maghrib; 2) Pahlawan-pahlawan dalam sejarah; 3) Prediksi atas sesuatu
yang akan terjadi; 4) Khilafah Abasiyah; 5) Amnesti dan jaminan keamanan bagi
Ibn Khaldun dan temannya; 6) Maksud Ibn Khaldun
tinggal bersama Timur Lenk. Pemikir Arab ini juga diminta menulis risalah
tentang Afrika Utara oleh Timur Lenk.
Setelah
pertemuan dengan Timur Lenk, Ibn Khaldun kembali ke Mesir. Ibn Khaldun diterima
dengan baik di istana. Selama empat kali ia diangkat menjadi Qadi dan kemudian berhenti.
Terakhir, ia diangkat menjabat lagi
untuk ke enam kalinya, pada bulan Sya’ban 808 H/Januari-Februari 1406 M,
hanya beberapa minggu sebelum wafatnya
pada 26 Ramadhan 808 H/16 Maret 1406 M.
Selain
kecerdasan interpersonalnya yang menonjol, Ibn Khaldun juga memiliki logika dan
visual. Kecerdasan logika dan visualnya terlihat dari kemampuannya dalam
memahamani hukum-hukum yang mengendalikan masyarakat dan sejarah dari hasil
pengamatan dan pengalamannya sendiri. Ia mampu memahami dinamika dan pertumbuhan
sebuah negara. Hal inilah yang dia tuangkan dalam karya monumentalnya al-Muqaddimah
dan al-Ibar.
Dengan karyanya al-Muqaddimah yang sering disebut-sebut sebagai karya pertama
historografi dan pelopor bagi disiplin
ilmu modern seperti antropologi, sosiologi, ekonomi dan politik. Bahkan kata
Bryan S. Turner, Ibn Khaldun seringkali disebut sebagai the father of sociology.
Dalam bidang-bidang yang dikajinya itu Ibn
Khaldun menunjukkan kepiawaiannya, dan dengan tepat meletakkan ke dalam sistem
pemikiran dan teori filsafat sejarahnya. Atas keahlian Ibn Khaldun itu Dimitri
Gutas menyatakan bahwa Ibn Khaldun adalah seorang ahli sejarah, sarjana, dan
politisi, pemikir pertama yang mengartikulasikan sebuah teori yang komprehensif
mengenai historiografi dan filsafat sejarah dalam al-Muqaddimah sebagai pengantar bagi karyanya Kitab al-Ibar. Sementara itu menurut Harun Nasution, Ibn Khaldun
adalah ahli sejarah terbesar dalam Islam yang menulis sejarah dengan
mempertalikan perkembangannya dengan
keadaan geografis dan cuaca setempat serta kekuatan-kekuatan moral dan
spiritual bangsa bersangkutan.
Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun telah
menciptakan apa yang disebutnya sebagai ilmu yang sepenuhnya baru. Ia membangun
metodologi saintifik bagi historiografi dengan membuat sebuah teori mengenai
hukum-hukum dasar yang beroperasi dalam sejarah, sehingga perisitiwa itu tidak
hanya terjadi di masa lalu tetapi juga “bagaimana dan kenapa peristiwa terjadi”
menjadi dapat dipahami.
No comments:
Post a Comment