B. Faktor
Eksternal: Lingkungan yang Kondusif
Secara umum
kemajuan sains dalam peradaban Islam ditunjang oleh luasnya kontak dan hubungan
umat Islam dengan beragam kebudayaan. Dengan intensitas aktifitas komersial,
orang-orang Arab mengalami kontak dengan sejumlah besar kebudayaan seperti India, Cina. Beragam kebudayaan yang
berbeda-beda ini menjadi bagian dari dunia Islam: kebudayan Iran, Turki,
Yahudi, Kristen Ortodoks dan Nestorian, dan Gnostik. Masing-masing dari
peradaban ini memiliki ide-ide baru yang menyumbang bagi pikiran Arab.
Situasi yang
kondusif ini telah memacu perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Berbagai
situasi yang menguntungkan ini banyak dimanfaatkan oleh para ilmuwan Muslim
untuk menggarap bidang keilmuan mereka.
1. Erat dengan Sumber-sumber Ilmu dan
Informasi
Seseorang yang cerdas ditandai
dengan luasnya wawasan mengenai suatu informasi. Dan ini diperolehnya karena
kedekatannya dengan sumber-sumber informasi, bukan secara ajaib.
Kita lihat
bagaimana al-Kindi memiliki perpustakaan
pribadinya yang bernama al-Kindiyah, dipenuhi koleksi buku-buku berbagai
disiplin ilmu, dan menjadi sumber informasi baginya. Ibn Sina dapat mengakses
dengan mudah perpustakaan Khalifah sebagai imbalan atas jasanya dalam
menyembuhkan penyakit Khalifah.
Pada masa
keemasan sains Islam, lembaga yang sangat berperan sebagai sumber informasi
adalah sekolah, perpustakaan, dan lembaga semacam Bait al-Hikmah. Dan
untungnya, di wilayah kekuasaan Islam banyak terdapat kota-kota yang menjadi
pusat-pusat ilmu pengetahuan dengan sejumlah lembaga yang bergengsi, mulai dari
Baghdad, Mesir, Kordoba, Sevilla, dll. Menurut al-Qalqasyandi, sekertaris dari
pejabat Mamluk, ada 3 perpustakaan besar dalam Islam, yaitu perpustakaan
Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyah di Kairo, dan perpustakaan
Umayyah di Cordoba.
Menurut sejumlah keterangan, di Baghdad
saja terhitung ada lebih dari 100 perpustakaan umum. Para pembesar Spanyol yang
menjadi penerus bani Umayyah pada 1031 M umumnya menjadi terkenal dengan
perpustakaan-perpustakaan mereka di Saragosa, Granada, Toledo, dan lainnya.
Hakam II misalnya adalah seorang pencinta buku yang tiada bandingannya. Diistananya
terdapat 400.000 buku. Peneliti seperti Padersen sampai terkagum-kagum. Ia
menyatakan: “Selama berlangsungnya perdebatan yang tak pernah berakhir yang
memenuhi masa kejayaan Islam, namun kami menemukan satu kesamaan diantara
mereka, yaitu ketertarikan kepada buku dan pendirian
perpustakaan-perpustakaan.”
Perpustakaan
memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam
peradaban Islam. Para ilmuwan besar seperti al-Khawarizmi, al-Kindi, al-farabi,
al-Biruni, Ibn Sina, dan yang lainnya tidak pernah jauh dari perpustakaan.
Mereka juga diuntungkan oleh adanya gerakan penerjemahan yang begitu massif.
Sekitar
pertengahan abad 8–11 M, sebuah gerakan
penerjemahan yang sistematik, elaboratif, didukung dan terorganisir dengan
baik, menerjemahkan hampir semua buku
filsafat dan saintifik yang terdapat di Timur Dekat dan Byzantium ke dalam bahasa Arab. Lingkup dari gerakan
penerjemahan ini termasuk sejumlah subjek seperti filsafat Aristotelian, kimia,
matematika, astronomi, astrologi, geometri, zoologi, fisika, botani, medis,
farmakologi dan ilmu tentang hewan. Dukungan sosial, politik dan finansial bagi
gerakan ini berasal dari kelas sosial yang mendukungnya termasuk khalifah,
pangeran, pengusaha, sarjana, saintis, pegawai pemerintah, dan pemimpin
militer.
Di masa kekuasaan Umayah, kata Bernard
Lewis, penerjemahan terjadi secara sporadik dan individual; sementara di masa
kekuasaan Abasiyah telah diorganisir dan didukung secara resmi. Periode
terpenting terjadi pada abad 9 M dan khususnya di masa kekuasaan al-Ma’mun
(813-833 M), yang membentuk sebuah staf yang bersifat regular. Khalifah inilah
yang mendirikan Bayt al-Hikmah di Baghdad pada tahun 832 M. Salah
seorang penerjemah yang terkenal adalah Hunayn ibn Ishaq (809-977 M), seorang
dokter Kristen Jundisyapur, yang menerjemahkan corpus Galen, Aforisma Hippocrates, dan karya-karya lainnya.
Penerjemah lainnya mengerjakan bidang astronomi, fisika, matematika, dan subjek
lainnya, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriak dan ke dalam
bahasa Arab. Khalifah mengirim para sarjana ke tempat yang berbeda dan bahkan
ke Byzantium untuk mencari berbagai manuskrip.
Beberapa dari penerjemah awal ini, lanjut
Bernard Lewis, juga menghasilkan karya-karya mereka sendiri, yang biasanya
berupa ringkasan dan penafsiran atas karya-karya Yunani. Tetapi segera generasi
penulis Muslim yang orisinil muncul, terutama berdarah Iran, seperti fisikawan
ar-Razi (865-925 M), filosof-fisikawan Ibn Sina (980-1037 M), dan yang terbesar
dari semua al-Biruni (973-1048 M), seorang fisikawan, astronomer,
matematikawan, kimiawan, geografer, dan sejarawan; ia adalah sarjana yang
mendalam dan orisinil, yang menjadi salah satu figur intelektual terbesar di
masa pertengahan Islam. Dalam bidang kedokteran, pemikiran Arab tidak menyentuh
teori dasar Yunani, tetapi memperkayanya dengan observasi dan pengalaman
klinis. Dalam bidang matematika, fisika dan kimia, kontribusi mereka jauh lebih
besar dan lebih orisinil.
Ini merupakan indikasi yang amat jelas bagaimana tradisi ilmiah dan
budaya baca-tulis telah sedemikian pesatnya terjadi saat itu, dan menjadi
tulang punggung utama bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam. Kata
Padersen, jarang ada kebudayaan lain dimana dunia tulis-menulis memainkan
peranan yang begitu penting seperti dalam peradaban Islam. Ilmu, yang berarti seluruh dunia pemikiran,
menarik perhatian orang-orang Muslim lebih dari segalanya di zaman kejayaan
Islam dan beberapa waktu setelah itu. Apalagi kondisi saat itu, khususnya di
era Abasiyah, umat Islam menikmati suasana yang relatif tenang sehingga dapat
memberikan perhatian lebih besar terhadap masalah ilmu dan peradaban.
Dan segenap upaya dan kerja keras mereka, telah mengantarkan kepada masa
yang disebut golden age.
Produktifitas karya ilmiah dan literatur, yang mayoritas di tulis dalam bahasa
Arab, sangat luar biasa tingginya. Umat Islam betul-betul merpresentasikan
dirinya sebagai “peradaban literatur”.
2. Korespondensi,
Perjalanan Studi dan Eksplorasi Ke Berbagai Belahan Dunia
Pertukaran
informasi sangat penting bagi pengembangan ilmu. Hal ini menciptakan suatu
atmosfir terbuka, saling menanggapi, memberikan masukan dan kritik, yang pada
gilirannya turut menjadi sumber dinamika ilmu pengetahuan.
Ilmuwan
seperti al-Biruni sering berkorespondensi dengan para ilmuwan Baghdad. Ia
sendiri tidak melakukan perjalanan ke Baghdad. Namun melalui korespondensi ini
al-Biruni mengetahui perkembangan sains di Baghdad maupun tempat lainnya.
Korespondensinya
yang terkenal adalah surat-menyurat antara al-Biruni dengan Ibn Sina. Dalam
buku al-Asila wa al-Ajwiba (Pertanyaan
dan Jawaban) berisi pertukaran ide antara al-Biruni dan Ibn Sina. Dalam hal ini
al-Biruni menunjukkan ketidak setujuannya dengan teori fisika Aristoteles yang
dianut Ibn Sina. Karena itu terjadi perdebatan diantara keduanya. Dalam debat
ini, al-Biruni mempersoalkan hampir semua aksioma-aksioma fundamental fisika
Aristoteles.
Korespondensi, pertukaran informasi, hingga pertukaran pelajar merupakan
fenomena yang menonjol dalam tradisi pendidikan Islam. H.G. Wells sampai memuji
kenyataan ini, “Belajar tumbuh di setiap tempat di wilayah kekuasaan Arab. Pada
abad ke 8 M terdapat organisasi pendidikan di seluruh dunia Arab. Pada abad ke
9 M pelajar-pelajar di sekolah Kordoba (Spanyol) berhubungan dengan pelajar di
Kairo, Baghdad, Bukhara dan Samarkand”.
Para ilmuwan
Muslim juga banyak melakukan perjalan studi untuk baik untuk penelitian maupun
memperluas wawasan mereka. Jadi, tidak semata-mata menghabiskan waktu mereka
dalam ruang belajarnya saja, tetapi juga melakukan perjalanan, penjelajahan dan
pengamatan. Pengalaman inilah yang memperkaya wawasan mereka dengan data-data
empiris.
Kita lihat
misalnya perjalanan studi al-Farabi dimulai dari kota Baghdad, Harran,
Damaskus, hingga Aleppo. Ibn Zuhr, seorang dokter dari Sevilla, menempuh
pendidikannya di Universitas Kordoba, kemudian mendalami ilmunya di Baghdad dan
Mesir.
Ali ibn
Husein al-Mas’udi (895–956 M), seorang sejarawan
dan ahli geografi dari Baghdad, dan dipanggil sebagai Herodotus dari Arab,
telah menempuh perjalanan yang luas dari Afrika Hitam sampai China dan menetap
di Fustat (Kairo), dimana ia
mengkompilasikan ensiklopedi sejarahnya yang terdiri dari 30 volume.
Begitu juga imam Muhammad ibn Ismail
al-Bukhari (810-870 M) yang sejak muda telah bekerja keras menekuni hadits. Ia
belajar mulai dari Hijaz, Irak, Khurasan dan daerah-daerah lainnya. Dalam
perjalanannya yang begitu panjang itu, ia belajar dari berbagai ulama hadits
(lebih dari seribu ulama hadits). Ia mengatakan, “Saya menulis hadits dari 1080
orang, tidak satu pun diantara mereka kecuali ahli hadits”.
3. Bimbingan Orang Tua dan Guru
Kalau kita
perhatikan para ilmuwan besar dunia hampir selalu ditemukan hubungan mereka
dengan para guru yang cerdas dan hebat. Tentu saja guru yang cerdas menelurkan
murid yang cerdas. Guru para ilmuwan besar adalah para guru besar dan
orang-orang hebat dalam bidang mereka.
Al-Farabi
belajar di bawah guru-guru yang hebat dan pakar di bidang mereka, seperti Ibn
Yunus (logika), Yuhana ibn Hilan, Abu Bakar ibn Sarraj (tata bahasa). Begitu
juga guru-guru Ibn Sina, al-Biruni, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan Jalal al-Din
Rumi belajar di bawah bimbingan guru-guru terbaik di masanya.
Dan
beruntungnya mereka pun mendapatkan pendidikan terbaik dari orang tua mereka.
Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan
lainnya mendapat pendidikan terbaik dari ayahnya. Jika mereka tidak mendapatkan
dari orangtuanya, (biasanya karena faktor kekurangan ekonomi) maka sang ayah akan
menitipkan anaknya kepada seorang guru besar untuk dididik. Hal ini seperti
yang dilakukan oleh ayah imam al-Ghazali, yang kehidupannya sangat miskin.
4. Pendidikan Rumah dan Sekolah Berjalan
Secara Terpadu
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan yang berlaku saat itu
berperan penting bagi pengembangan potensi para ilmuwan di atas. Sehingga
pertanyaannya, seperti apakah sistem pendidikan saat itu? Sistem pendidikan
macam manakah yang mampu melahirkan para jenius besar? Usaha untuk menjawab
pertanyaan ini membutuhkan penelitian khusus.
Dari pembahasan yang dilakukan
George al-Makdisi, kita akan menemukan bahwa pendidikan yang berlangsung di
masa klasik, berjalan secara terpadu, mulai dari pendidikan di rumah,
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Menurut Penjelasan Makdisi, pendidikan
Islam klasik terdiri atas dua level: dasar (di kuttab atau maktab) dan
lanjutan (madrasah) [Makdisi menilai madrasah setingkat dengan college]. Pendidikan informal dilakukan
di rumah, di masjid atau dalam asrama yang terhubung dengan masjid. Pendidikan
dasar diajari keterampilan membaca dan menulis. Pengajaran juga termasuk shalat
dan ibadah serta aritmatik sederhana. Beberapa murid menghafal al-Quran dan
memperoleh predikat hafizh.
Pendidikan menengah termasuk pelajaran ilmu-ilmu Islam, al-Quran, hadits, fiqh,
tata bahasa Arab, filologi dan lainnya. Filsafat dan sains rasional tidak
termasuk. Para siswa menghadiri pelajaran guru, yang kemudian menyatakan bahwa
pelajaran tertentu telah selesai dan kemudian dapat mengajar subjek yang
dikuasainya. Ia memperoleh lisensi (ijaza).
Mahasiswa tingkat lanjutan melakukan perjalan ke beberapa kota untuk
mengumpulkan hadits dan untuk studi dengan sarjana Islam yang terkenal.
Pendidikan tinggi menghasilkan ulama, qadi
dan mufti. Pembedaan sering dilakukan
antara ilmu Islam dan asing. Yang pertama terdiri atas tafsir al-Quran, hadits,
fiqh, kalam, nahwu, lugha (leksikografi), bayan (retorika) dan adab (literatur).
Ilmu asing (foreign sciences)
termasuk filsafat (falsafa), geometri
(handasa), astronomi (‘ilm al-nujum), musik (musiqi),
medis (tibb), magis dan kimia (al-sihr wa al-kimiya). Lembaga
khusus bagi pendidikan, madrasah, muncul pertama kali sejak abad ke 10 M.
Pendidikan bersifat bebas biaya dan informal. Universitas Islam pertama adalah
Al-Azhar di Kairo (972 M) dibangun oleh dinasti
Fatimiyah (Syi’ah) dan Nizamiyyah
pada tahun 1065–1067 di Baghdad,
didirikan oleh menteri Nizham al-Mulk dari Dinasti Seljuk (Sunni) yang kemudian
menjadi model bagi lembaga pendidikan di tempat lainnya.
5. Kultur Ilmiah-Religius
Pandangan
dunia (world view) yang dianut oleh
para ilmuwan Muslim jelas berpengaruh terhadap pemikiran dan aktifitas mereka.
Dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama pandangan dunia umat
Islam yang dianut dalam kultur dimana mereka hidup memberikan dorongan kuat
bagi aktifitas keilmuan.
Tuhan yang mengajarkan manusia telah
disebutkan dalam wahyu pertama, yang memberikan prioritas pada fakta bahwa
Tuhan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya melalui pena (Qs.96:4),
yang mengindikasikan bahwa Tuhan
mengajar manusia “kitab suci” (the holy
scripture) atau menulis. Tuhan mengajarkan al-Quran pada manusia
(Qs.ar-Rahman/55:2) dan “penjelasan”, al-bayan
(Qs.55:4), atau nama-nama segala sesuatu (asma
kulla syaiin) atau “semua bahasa” (al-lughat
kullaha). Tuhan juga mengajarkan para Nabi, kitab dan hikmah (Qs.2:129;
2:151).
Dorongan belajar dan menuntut ilmu semakin
terasa kuat dengan adanya perintah kepada Nabi sendiri untuk berdoa: Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepada ku ilmu."(Qs.Thaha/20: 114).
Tentu saja perintah ini tidak sebatas doa,
tetapi supaya manusia bergiat menuntut ilmu. Sebab ilmu tidak akan di dapat
tanpa usaha dan kerja keras, melalui belajar, mengajar, membaca, berdikusi,
mengkaji dan meneliti. Itu pun tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, tetapi
butuh waktu yang lama. Maka dari itu setiap Muslim diharuskan untuk menuntut
ilmu sepanjang hayat sesuai dengan kehendak al-Qur’an dan sunnah Nabi. Inilah
yang kemudian tumbuh dalam masyarakat Muslim menjadi budaya thalab al-ilm, belajar sepanjang hayat.
Kata Muhammad Asad, sejarah membuktikan
bahwa tidak ada agama yang dapat dibandingkan dengan Islam yang telah
memberikan rangsangan kepada kemajuan ilmu (scientific
progress). Dorongan untuk belajar dan melakukan penelitian saintifik, telah
menghasilkan masa keemasan budaya yang dicapai dengan sukses pada masa Umayyah
dan Abasiyah, dan pemerintahan Arab di Sicilia dan Spanyol.
Menurut Muhammad Asad, Al-Qur’an telah
memberikan pengaruh yang fundamental dalam sejarah agama, sosial dan politik
dunia. Tidak ada kitab suci serupa yang dengan cepat berpengaruh atas kehidupan
orang-orang yang pertama menerima ajarannya, yang melalui mereka dan generasi
setelah mereka berpengaruh atas seluruh wacana peradaban. Al-Qur’an mempengaruhi
bangsa Arab, dan membuat bangsa tersebut keluar dari perang abadi antar suku.
Lalu selama beberapa dekade ia meluaskan pandangan dunianya jauh melampaui
batas-batas dunia Arab, dan membentuk masyarakat ideologis pertama yang dikenal
manusia; melalui tekanannya pada kesadaran dan ilmu, ia melahirkan dalam pengikutnya sebuah spirit
kuriositas intelektual dan penelitian independen (ijtihad), yang puncaknya dimasa keemasan belajar dan penelitian
saintifik (learning and scientific
research) membedakan dunia Islam pada ketinggian budaya; budaya yang
dipengaruhi al-Qur’an ini kemudian mengalami penetrasi ke dalam pikiran Eropa
abad pertengahan dan menentukan kebangkitan kebudayaan Barat yang kita sebut
renaisans, dan kemudian turut menentukan pula apa yang disebut “age of science”: dimana kita hidup
sekarang ini..
Sejak masa awal Islam, al-Qur’an telah
memberikan inspirasi bagi pengembangan ilmu dan peradaban, melalui perhatiannya
terhadap manusia untuk berpikir, merenung dan memperhatikan dunia natural
beserta fenomena yang terjadi di dalamnya, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah
umat terdahulu. Al-Qur’an juga telah menunjukkan dirinya sebagai sumber ilmu
yang darinya manusia dapat belajar tentang objek-objek tersebut (secara garis
besar) dan berbagai pokok-pokok ilmu yang perlu diketahui oleh manusia.
Al-Qur’an tidak banyak berbicara tentang tata cara shalat dan puasa—yang banyak
dijelaskan oleh hadits—tetapi lebih banyak mengajak manusia untuk berpikir,
merenung dan mempelajari semua tanda-tanda kekuasaan Allah dalam semua
ciptaan-Nya. Tujuannya supaya manusia “sadar” siapa dirinya, siapa Tuhannya,
dan apa konsekuensi bagi seluruh hidupnya, baik pada tataran individual maupun
sosial; suatu tujuan yang betul-betul bersifat etis, demi kebaikan manusia
sendiri.
Padersen pernah mengemukakan pertanyaan,
“Bagaimana dengan kehidupan para penulis yang melaksanakan karya besar yang
menghabiskan seluruh waktu dan kemampuan mereka?” Menurutnya, kebanyakan
diantara mereka menjalani hidupnya dengan perasaan menerima. Bagi mereka,
belajar, dan kehidupan intelektual, mempunyai ikatan yang erat dengan agama.
Membaktikan diri untuk belajar memberikan kepuasan batin serta merupakan ibadah
kepada Tuhan. Hal ini tidak saja membuat para penulis sudi menerima kemiskinan;
tetapi lebih dari itu orang lain pun akan terdorong untuk memberikan bantuan
bagi mereka. Berbagai macam lembaga memberikan beasiswa yang tak terhingga di masjid-masjid sebagai imbalan kepada para
guru, sehingga kehidupan mereka terjamin. Sumber ini berasal dari bantuan para
pemimpin dan orang-orang terkemuka yang secara pribadi memberikan dana untuk
ilmuwan-ilmuwan. Ada perasaan dimana orang yang memiliki kekayaan duniawi tak
dapat menciptakan ilmu sendiri, maka sebagai Muslim ia merasa berhutang kepada
orang-orang pandai yang mengabdikan diri mereka kepada pekerjaan ilmiah.
Dalam buku Fifty Major Thinkers on Education dikatakan:
The Islamic ideology
provided the world, especially in the early days of Islam, with a most powerful
source of inspiration. The rich contributions which Islam has made in the
various branches of science served as the bases for the development of modern
science. Although many earlier Western writers tended to ignore this fact,
recent investigators have stressed and recognized the importance of the Muslim
contributions in all areas of human endeavour, especially in developing areas
of scientific outlook. (“Ideologi
Islam telah memberikan dunia, khususnya di awal masa Islam, suatu sumber
inspirasi yang sangat kuat. Kontribusi yang begitu kaya yang telah diciptakan
oleh Islam dalam beragam cabang sains telah menyediakan basis bagi pengembangan
sains modern. Walaupun para penulis Barat yang awal cenderung mengabaikan fakta
ini, peneliti sekarang ini telah menekankan dan mengakui arti penting kontribusi
Muslim dalam semua wilayah upaya manusia, khususnya dalam membangun wilayah
pandangan saintifik”).
6. Dukungan
Sosial Politik
Aktifitas
ilmiah menjadi fenomena sosial, bukan hanya terjadi di ruang-ruang perpustakaan
dan laboratorium para ilmuwan saja tetapi menjalar di tengah-tengah masyarakat.
Pada saat itu masyarakat begitu antusias berada di sekeliling para ulama, ahli
tafsir, hadits, fikih, kalam, tasawuf. Mereka juga bersemangat untuk belajar
pada ilmuwan sekaliber Ibn Sina yang rumahnya selalu dipenuhi oleh orang-orang
yang datang untuk belajar.
Karena antusias yang besar dari masyarakat
maka dengan sendirinya kebutuhan terhadap lembaga pendidikan terus mengalami
peningkatan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama jaringan persekolahan telah
terlaksana. Di setiap kota dan kampung-kampung telah ada sekolah-sekolah. Pada
masa ini lembaga pendidikan yang sangat terkenal diantaranya adalah
al-Nizhamiah. Didirikan di kota Baghdad pada tahun 1076 M oleh seorang menteri
berasal dari Persia bernama Nizamul Mulk (1018-1092 M). Salah seorang guru yang
sangat popular yang pernah mengajar pada Nizamiah ini adalah imam al-Ghazali.
Ia mengajar di sini selama empat tahun.
Setelah Nizamiah maka didirikan pula
sekolah-sekolah lain. Hingga di Baghdad terdapatlah 30 sekolah. Lalu di Damsyik terdapat 20 sekolah, Iskandariah 30
sekolah, Mosul 6 sekolah. Tidak terdapat satu kota penting pun tanpa ada
sekolah yang didirikan di situ. Corak sekolah-sekolah ini serupa dengan sekolah
Nizamiah. Kota-kota lain yang turut menggalakkan sekolah diantaranya Kairo,
Nisyapur, Samarkand, Isfahan, Baktra, Aleppo, Ghazni, Lahore dan lainnya.
Wilayah Islam bagian Barat juga tidak
ketinggalan majunya dalam pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Diantara
perguruan-perguruan itu terdapat Universita Kordoba, Seville, Malaga dan
Granada.
Dengan didirikannya lembaga-lembaga
pendidikan itu maka sejak abad ke-9 hingga 13 M menjadi abad penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran yang berjalan secara intensif menjangkau keseluruhan
umat Islam sehingga terjadi pemerataan ilmu dan pendidikan. Sampai-sampai
orang-orang non Islam pun diterima belajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Kordoba misalnya, banyak para pelajar Eropa datang untuk belajar di lembaga
pendidikan yang ada di kota tersebut tanpa hambatan. Kelak melalui para
pelajar inilah terjadi mata rantai bagi
transformasi ilmu ke Eropa yang mendukung terjadinya renaisans.
Sementara itu, pemerintahan Umayyah
membiarkan ilmu yang berasal dari dunia Helenistik tumbuh di Syiria:
sekolah-sekolah Kristen, Sabian dan Persia di Alexandria, Beirut, Jundishapur,
Nisibis, Harran dan Antioch. Dalam hal ini pemerintah memang bersikap toleran,
tidak menutup lembaga-lembaga pendidikan asing. Selain itu selama masa
pemerintahan Umayyah beberapa karya Yunani telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan praktis saat itu seperti karya-karya
kedokteran, logika dan matematika. Namun aktifitas penerjemahan ini belum
ditangani secara kelembagaan, dan masih berupa kerja individual.
Pemerintahan Abbasiyah mengikuti jejak
Umayyah dalam menggalakkan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa
Arab. Bahkan pada masa ini barulah kegiatan penerjemahan mulai dilakukan secara
besar-besaran, yaitu pada masa pemerintahan Al-Manshur dan Harun Al-Rasyid.
Puncaknya adalah pada masa al-Makmun (813-833 M) dengan mendirikan Bait al-Hikmah pada tahun 832 M.
Masa penerjemahan berlangsung lama,
sekitar 1 abad. Masa yang demikian panjang itu dapat dibagi menjadi tiga fase.
Fase pertama, pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase
ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan
logika. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun. Hingga tahun 300
H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang fisafat dan
kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Hal terpenting dari masa penerjemahan ini
adalah bahwa lembaga penerjemah dan semua aktifitasnya betul-betul menjadi
pendorong kemajuan ilmu dalam masyarakat Muslim sat itu. Lembaga semacam Bait al-Hikmah dan buku-buku hasil
terjemahannya, secara nyata memberikan kontribusi ilmiah, sehingga banyak dari
para sarjana dan intelektual Islam mendapatkan sumber-sumber referensi penting
bagi pengembangan ilmu. Apalagi lembaga Bait
al-Hikmah tidak hanya menjalankan fungsi penerjemahan saja, tetapi juga
dilengkapi dengan observatorium dan perpustakaan, suatu fasilitas yang
diperlukan bagi kajian-kajian ilmiah. Maka lembaga ini menjadi tempat diskusi
dan tukar pendapat dikalangan para ahli, yang karenanya menjadi seperti lembaga
perguruan tinggi. Menurut Prof Mahmud Yunus, Bait al-Hikmah disamping merupakan
pusat kegiatan penerjemahan, juga dipenuhi oleh berbagai aktifitas
intelektual. Di situ diajarkan ilmu-ilmu agama Islam, Ilmu-imu hikmah,
ilmu-ilmu alam, kimia, falak dan lain-lain yang sekarang disebut sains. Bait al-Hikmah dapat dikatakan seperti
Fakultas Ilmu atau institut Ilmu.
Kegiatan penerjemahan yang berpusat pada
lembaga ini berjalan efektif dan produktif. Hal itu tidak lain karena sifatnya yang terorganisir,
institusional, dan resmi di bawah naungan pemerintah dengan dukungan dana yang
memadai sehingga dapat dilakukan secara besar-besaran. Dan selama masa 1 abad
penerjemahan, kegiatan berjalan tanpa hambatan sama sekalii—suatu hal yang
hanya mungkin dilakukan dengan dukungan kekuasaan.
Karena itu kata Fazlur Rahman, para
khalifah Abbasiyah telah mempercepat proses kebangkitan intelektual Islam dengan
secara resmi mempelopori dan menjadi pelindung usaha-usaha penerjemahan
karya-karya filsafat, kedokteran, dan sains Yunani ke dalam bahasa Arab.
Terutama al-Makmun merupakan penyokong
terbesar bagi kemajuan filsafat dan ilmu di sepanjang sejarah umat Islam yang
terus bergejolak. Persoalan-persoalan teologi dan flsafat mulai didiskusikan
dengan keberanian yang luar biasa, banyak memberi cahaya kepada minat
intelektual yang besar dan juga suasana umum yang berlaku pada masa itu.
Adalah wajar bila usaha yang dilakukan secara
sungguh-sungguh, besar-besaran, terorganisir dan resmi di bawah naungan
khalifah mencapai momentumnya. Suatu hal
yang sulit dicapai bila dilakukan secara perorangan atau kelompok tertentu
saja. Bagaimanapun, kekuatan politik dan ekonomi pemerintah memang sangat
mendukung dalam mempercepat proses pengembangan ilmu. Itu tidak bisa dipungkiri.
No comments:
Post a Comment