Thursday, February 26, 2015

Mengungkap Rahasia Kecerdasan & Etos Belajar Para Jenius Muslim -- bag.2

B.        Faktor Eksternal: Lingkungan yang Kondusif

Secara umum kemajuan sains dalam peradaban Islam ditunjang oleh luasnya kontak dan hubungan umat Islam dengan beragam kebudayaan. Dengan intensitas aktifitas komersial, orang-orang Arab mengalami kontak dengan sejumlah besar kebudayaan  seperti India, Cina. Beragam kebudayaan yang berbeda-beda ini menjadi bagian dari dunia Islam: kebudayan Iran, Turki, Yahudi, Kristen Ortodoks dan Nestorian, dan Gnostik. Masing-masing dari peradaban ini memiliki ide-ide baru yang menyumbang bagi pikiran Arab.

Situasi yang kondusif ini telah memacu perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Berbagai situasi yang menguntungkan ini banyak dimanfaatkan oleh para ilmuwan Muslim untuk menggarap bidang keilmuan mereka.


1.         Erat dengan Sumber-sumber Ilmu dan Informasi

Seseorang yang cerdas ditandai dengan luasnya wawasan mengenai suatu informasi. Dan ini diperolehnya karena kedekatannya dengan sumber-sumber informasi, bukan secara ajaib.

Kita lihat bagaimana al-Kindi  memiliki perpustakaan pribadinya yang bernama al-Kindiyah, dipenuhi koleksi buku-buku berbagai disiplin ilmu, dan menjadi sumber informasi baginya. Ibn Sina dapat mengakses dengan mudah perpustakaan Khalifah sebagai imbalan atas jasanya dalam menyembuhkan penyakit Khalifah.

Pada masa keemasan sains Islam, lembaga yang sangat berperan sebagai sumber informasi adalah sekolah, perpustakaan, dan lembaga semacam Bait al-Hikmah. Dan untungnya, di wilayah kekuasaan Islam banyak terdapat kota-kota yang menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan dengan sejumlah lembaga yang bergengsi, mulai dari Baghdad, Mesir, Kordoba, Sevilla, dll. Menurut al-Qalqasyandi, sekertaris dari pejabat Mamluk, ada 3 perpustakaan besar dalam Islam, yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fathimiyah di Kairo, dan perpustakaan Umayyah di Cordoba.

Menurut sejumlah keterangan, di Baghdad saja terhitung ada lebih dari 100 perpustakaan umum. Para pembesar Spanyol yang menjadi penerus bani Umayyah pada 1031 M umumnya menjadi terkenal dengan perpustakaan-perpustakaan mereka di Saragosa, Granada, Toledo, dan lainnya. Hakam II misalnya adalah seorang pencinta buku yang tiada bandingannya. Diistananya terdapat 400.000 buku. Peneliti seperti Padersen sampai terkagum-kagum. Ia menyatakan: “Selama berlangsungnya perdebatan yang tak pernah berakhir yang memenuhi masa kejayaan Islam, namun kami menemukan satu kesamaan diantara mereka, yaitu ketertarikan kepada buku dan pendirian perpustakaan-perpustakaan.” 

Perpustakaan memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Para ilmuwan besar seperti al-Khawarizmi, al-Kindi, al-farabi, al-Biruni, Ibn Sina, dan yang lainnya tidak pernah jauh dari perpustakaan. Mereka juga diuntungkan oleh adanya gerakan penerjemahan yang begitu massif. 

Sekitar pertengahan abad 8–11 M,  sebuah gerakan penerjemahan yang sistematik, elaboratif, didukung dan terorganisir dengan baik, menerjemahkan  hampir semua buku filsafat dan saintifik yang terdapat di Timur Dekat dan Byzantium ke  dalam bahasa Arab. Lingkup dari gerakan penerjemahan ini termasuk sejumlah subjek seperti filsafat Aristotelian, kimia, matematika, astronomi, astrologi, geometri, zoologi, fisika, botani, medis, farmakologi dan ilmu tentang hewan. Dukungan sosial, politik dan finansial bagi gerakan ini berasal dari kelas sosial yang mendukungnya termasuk khalifah, pangeran, pengusaha, sarjana, saintis, pegawai pemerintah, dan pemimpin militer.

Di masa kekuasaan Umayah, kata Bernard Lewis, penerjemahan terjadi secara sporadik dan individual; sementara di masa kekuasaan Abasiyah telah diorganisir dan didukung secara resmi. Periode terpenting terjadi pada abad 9 M dan khususnya di masa kekuasaan al-Ma’mun (813-833 M), yang membentuk sebuah staf yang bersifat regular. Khalifah inilah yang mendirikan Bayt al-Hikmah di Baghdad pada tahun 832 M. Salah seorang penerjemah yang terkenal adalah Hunayn ibn Ishaq (809-977 M), seorang dokter Kristen Jundisyapur, yang menerjemahkan corpus Galen, Aforisma Hippocrates, dan karya-karya lainnya. Penerjemah lainnya mengerjakan bidang astronomi, fisika, matematika, dan subjek lainnya, yang diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Syiriak dan ke dalam bahasa Arab. Khalifah mengirim para sarjana ke tempat yang berbeda dan bahkan ke Byzantium untuk mencari berbagai manuskrip.

Beberapa dari penerjemah awal ini, lanjut Bernard Lewis, juga menghasilkan karya-karya mereka sendiri, yang biasanya berupa ringkasan dan penafsiran atas karya-karya Yunani. Tetapi segera generasi penulis Muslim yang orisinil muncul, terutama berdarah Iran, seperti fisikawan ar-Razi (865-925 M), filosof-fisikawan Ibn Sina (980-1037 M), dan yang terbesar dari semua al-Biruni (973-1048 M), seorang fisikawan, astronomer, matematikawan, kimiawan, geografer, dan sejarawan; ia adalah sarjana yang mendalam dan orisinil, yang menjadi salah satu figur intelektual terbesar di masa pertengahan Islam. Dalam bidang kedokteran, pemikiran Arab tidak menyentuh teori dasar Yunani, tetapi memperkayanya dengan observasi dan pengalaman klinis. Dalam bidang matematika, fisika dan kimia, kontribusi mereka jauh lebih besar dan lebih orisinil. 

Ini merupakan indikasi yang amat jelas bagaimana tradisi ilmiah dan budaya baca-tulis telah sedemikian pesatnya terjadi saat itu, dan menjadi tulang punggung utama bagi kemajuan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam. Kata Padersen, jarang ada kebudayaan lain dimana dunia tulis-menulis memainkan peranan yang begitu penting seperti dalam peradaban Islam.  Ilmu, yang berarti seluruh dunia pemikiran, menarik perhatian orang-orang Muslim lebih dari segalanya di zaman kejayaan Islam dan beberapa waktu setelah itu. Apalagi kondisi saat itu, khususnya di era Abasiyah, umat Islam menikmati suasana yang relatif tenang sehingga dapat memberikan perhatian lebih besar terhadap masalah ilmu dan  peradaban.  Dan  segenap upaya dan kerja  keras mereka, telah mengantarkan kepada masa yang disebut golden age. Produktifitas karya ilmiah dan literatur, yang mayoritas di tulis dalam bahasa Arab, sangat luar biasa tingginya. Umat Islam betul-betul merpresentasikan dirinya sebagai “peradaban literatur”. 

           
2.         Korespondensi, Perjalanan Studi dan Eksplorasi Ke Berbagai Belahan Dunia

Pertukaran informasi sangat penting bagi pengembangan ilmu. Hal ini menciptakan suatu atmosfir terbuka, saling menanggapi, memberikan masukan dan kritik, yang pada gilirannya turut menjadi sumber dinamika ilmu pengetahuan.

Ilmuwan seperti al-Biruni sering berkorespondensi dengan para ilmuwan Baghdad. Ia sendiri tidak melakukan perjalanan ke Baghdad. Namun melalui korespondensi ini al-Biruni mengetahui perkembangan sains di Baghdad maupun tempat lainnya.

Korespondensinya yang terkenal adalah surat-menyurat antara al-Biruni dengan Ibn Sina. Dalam buku al-Asila wa al-Ajwiba (Pertanyaan dan Jawaban) berisi pertukaran ide antara al-Biruni dan Ibn Sina. Dalam hal ini al-Biruni menunjukkan ketidak setujuannya dengan teori fisika Aristoteles yang dianut Ibn Sina. Karena itu terjadi perdebatan diantara keduanya. Dalam debat ini, al-Biruni mempersoalkan hampir semua aksioma-aksioma fundamental fisika Aristoteles.

Korespondensi, pertukaran informasi, hingga pertukaran pelajar merupakan fenomena yang menonjol dalam tradisi pendidikan Islam. H.G. Wells sampai memuji kenyataan ini, “Belajar tumbuh di setiap tempat di wilayah kekuasaan Arab. Pada abad ke 8 M terdapat organisasi pendidikan di seluruh dunia Arab. Pada abad ke 9 M pelajar-pelajar di sekolah Kordoba (Spanyol) berhubungan dengan pelajar di Kairo, Baghdad, Bukhara dan Samarkand”.

Para ilmuwan Muslim juga banyak melakukan perjalan studi untuk baik untuk penelitian maupun memperluas wawasan mereka. Jadi, tidak semata-mata menghabiskan waktu mereka dalam ruang belajarnya saja, tetapi juga melakukan perjalanan, penjelajahan dan pengamatan. Pengalaman inilah yang memperkaya wawasan mereka dengan data-data empiris.

Kita lihat misalnya perjalanan studi al-Farabi dimulai dari kota Baghdad, Harran, Damaskus, hingga Aleppo. Ibn Zuhr, seorang dokter dari Sevilla, menempuh pendidikannya di Universitas Kordoba, kemudian mendalami ilmunya di Baghdad dan Mesir.

Ali ibn Husein al-Mas’udi (895–956 M), seorang sejarawan dan ahli geografi dari Baghdad, dan dipanggil sebagai Herodotus dari Arab, telah menempuh perjalanan yang luas dari Afrika Hitam sampai China dan menetap di Fustat (Kairo), dimana  ia mengkompilasikan ensiklopedi sejarahnya yang terdiri dari 30 volume.

Begitu juga imam Muhammad ibn Ismail al-Bukhari (810-870 M) yang sejak muda telah bekerja keras menekuni hadits. Ia belajar mulai dari Hijaz, Irak, Khurasan dan daerah-daerah lainnya. Dalam perjalanannya yang begitu panjang itu, ia belajar dari berbagai ulama hadits (lebih dari seribu ulama hadits). Ia mengatakan, “Saya menulis hadits dari  1080  orang, tidak satu pun diantara mereka kecuali ahli hadits”.
            

3.         Bimbingan Orang Tua dan Guru

Kalau kita perhatikan para ilmuwan besar dunia hampir selalu ditemukan hubungan mereka dengan para guru yang cerdas dan hebat. Tentu saja guru yang cerdas menelurkan murid yang cerdas. Guru para ilmuwan besar adalah para guru besar dan orang-orang hebat dalam bidang mereka.

 Al-Farabi belajar di bawah guru-guru yang hebat dan pakar di bidang mereka, seperti Ibn Yunus (logika), Yuhana ibn Hilan, Abu Bakar ibn Sarraj (tata bahasa). Begitu juga guru-guru Ibn Sina, al-Biruni, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan Jalal al-Din Rumi belajar di bawah bimbingan guru-guru terbaik di masanya. 

Dan beruntungnya mereka pun mendapatkan pendidikan terbaik dari orang tua mereka. Ibn Sina, Ibn Rusyd,  Ibn Khaldun dan lainnya mendapat pendidikan terbaik dari ayahnya. Jika mereka tidak mendapatkan dari orangtuanya, (biasanya karena faktor kekurangan ekonomi) maka sang ayah akan menitipkan anaknya kepada seorang guru besar untuk dididik. Hal ini seperti yang dilakukan oleh ayah imam al-Ghazali, yang kehidupannya sangat miskin.


4.         Pendidikan Rumah dan Sekolah Berjalan Secara Terpadu

Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem pendidikan yang berlaku saat itu berperan penting bagi pengembangan potensi para ilmuwan di atas. Sehingga pertanyaannya, seperti apakah sistem pendidikan saat itu? Sistem pendidikan macam manakah yang mampu melahirkan para jenius besar? Usaha untuk menjawab pertanyaan ini membutuhkan penelitian khusus.

Dari pembahasan yang dilakukan George al-Makdisi, kita akan menemukan bahwa pendidikan yang berlangsung di masa klasik, berjalan secara terpadu, mulai dari pendidikan di rumah, pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Menurut Penjelasan Makdisi, pendidikan Islam klasik terdiri atas dua level: dasar (di kuttab atau maktab) dan lanjutan (madrasah) [Makdisi menilai madrasah setingkat dengan college]. Pendidikan informal dilakukan di rumah, di masjid atau dalam asrama yang terhubung dengan masjid. Pendidikan dasar diajari keterampilan membaca dan menulis. Pengajaran juga termasuk shalat dan ibadah serta aritmatik sederhana. Beberapa murid menghafal al-Quran dan memperoleh predikat hafizh. Pendidikan menengah termasuk pelajaran ilmu-ilmu Islam, al-Quran, hadits, fiqh, tata bahasa Arab, filologi dan lainnya. Filsafat dan sains rasional tidak termasuk. Para siswa menghadiri pelajaran guru, yang kemudian menyatakan bahwa pelajaran tertentu telah selesai dan kemudian dapat mengajar subjek yang dikuasainya. Ia memperoleh lisensi (ijaza). Mahasiswa tingkat lanjutan melakukan perjalan ke beberapa kota untuk mengumpulkan hadits dan untuk studi dengan sarjana Islam yang terkenal. Pendidikan tinggi menghasilkan ulama, qadi dan mufti. Pembedaan sering dilakukan antara ilmu Islam dan asing. Yang pertama terdiri atas tafsir al-Quran, hadits, fiqh, kalam, nahwu, lugha (leksikografi), bayan (retorika) dan adab (literatur). Ilmu asing (foreign sciences) termasuk filsafat (falsafa), geometri (handasa), astronomi (‘ilm al-nujum), musik (musiqi), medis (tibb), magis dan kimia (al-sihr wa al-kimiya). Lembaga khusus bagi pendidikan, madrasah, muncul pertama kali sejak abad ke 10 M. Pendidikan bersifat bebas biaya dan informal. Universitas Islam pertama adalah Al-Azhar di Kairo (972 M) dibangun oleh dinasti Fatimiyah (Syi’ah) dan Nizamiyyah pada tahun 1065–1067 di Baghdad, didirikan oleh menteri Nizham al-Mulk dari Dinasti Seljuk (Sunni) yang kemudian menjadi model bagi lembaga pendidikan di tempat lainnya.


5.         Kultur Ilmiah-Religius

Pandangan dunia (world view) yang dianut oleh para ilmuwan Muslim jelas berpengaruh terhadap pemikiran dan aktifitas mereka. Dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama pandangan dunia umat Islam yang dianut dalam kultur dimana mereka hidup memberikan dorongan kuat bagi aktifitas keilmuan.

Tuhan yang mengajarkan manusia telah disebutkan dalam wahyu pertama, yang memberikan prioritas pada fakta bahwa Tuhan mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya melalui pena (Qs.96:4), yang  mengindikasikan bahwa Tuhan mengajar manusia “kitab suci” (the holy scripture) atau menulis. Tuhan mengajarkan al-Quran pada manusia (Qs.ar-Rahman/55:2) dan “penjelasan”, al-bayan (Qs.55:4), atau nama-nama segala sesuatu (asma kulla syaiin) atau “semua bahasa” (al-lughat kullaha). Tuhan juga mengajarkan para Nabi, kitab dan hikmah (Qs.2:129; 2:151).

Dorongan belajar dan menuntut ilmu semakin terasa kuat dengan adanya perintah kepada Nabi sendiri untuk berdoa: Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepada ku ilmu."(Qs.Thaha/20: 114).

Tentu saja perintah ini tidak sebatas doa, tetapi supaya manusia bergiat menuntut ilmu. Sebab ilmu tidak akan di dapat tanpa usaha dan kerja keras, melalui belajar, mengajar, membaca, berdikusi, mengkaji dan meneliti. Itu pun tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, tetapi butuh waktu yang lama. Maka dari itu setiap Muslim diharuskan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat sesuai dengan kehendak al-Qur’an dan sunnah Nabi. Inilah yang kemudian tumbuh dalam masyarakat Muslim menjadi budaya thalab al-ilm, belajar sepanjang hayat.

Kata Muhammad Asad, sejarah membuktikan bahwa tidak ada agama yang dapat dibandingkan dengan Islam yang telah memberikan rangsangan kepada kemajuan ilmu (scientific progress). Dorongan untuk belajar dan melakukan penelitian saintifik, telah menghasilkan masa keemasan budaya yang dicapai dengan sukses pada masa Umayyah dan Abasiyah, dan pemerintahan Arab di Sicilia dan Spanyol.

Menurut Muhammad Asad, Al-Qur’an telah memberikan pengaruh yang fundamental dalam sejarah agama, sosial dan politik dunia. Tidak ada kitab suci serupa yang dengan cepat berpengaruh atas kehidupan orang-orang yang pertama menerima ajarannya, yang melalui mereka dan generasi setelah mereka berpengaruh atas seluruh wacana peradaban. Al-Qur’an mempengaruhi bangsa Arab, dan membuat bangsa tersebut keluar dari perang abadi antar suku. Lalu selama beberapa dekade ia meluaskan pandangan dunianya jauh melampaui batas-batas dunia Arab, dan membentuk masyarakat ideologis pertama yang dikenal manusia; melalui tekanannya pada kesadaran dan ilmu,  ia melahirkan dalam pengikutnya sebuah spirit kuriositas intelektual dan penelitian independen (ijtihad), yang puncaknya dimasa keemasan belajar dan penelitian saintifik (learning and scientific research) membedakan dunia Islam pada ketinggian budaya; budaya yang dipengaruhi al-Qur’an ini kemudian mengalami penetrasi ke dalam pikiran Eropa abad pertengahan dan menentukan kebangkitan kebudayaan Barat yang kita sebut renaisans, dan kemudian turut menentukan pula apa yang disebut “age of science”: dimana kita hidup sekarang ini..
Sejak masa awal Islam, al-Qur’an telah memberikan inspirasi bagi pengembangan ilmu dan peradaban, melalui perhatiannya terhadap manusia untuk berpikir, merenung dan memperhatikan dunia natural beserta fenomena yang terjadi di dalamnya, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah umat terdahulu. Al-Qur’an juga telah menunjukkan dirinya sebagai sumber ilmu yang darinya manusia dapat belajar tentang objek-objek tersebut (secara garis besar) dan berbagai pokok-pokok ilmu yang perlu diketahui oleh manusia. Al-Qur’an tidak banyak berbicara tentang tata cara shalat dan puasa—yang banyak dijelaskan oleh hadits—tetapi lebih banyak mengajak manusia untuk berpikir, merenung dan mempelajari semua tanda-tanda kekuasaan Allah dalam semua ciptaan-Nya. Tujuannya supaya manusia “sadar” siapa dirinya, siapa Tuhannya, dan apa konsekuensi bagi seluruh hidupnya, baik pada tataran individual maupun sosial; suatu tujuan yang betul-betul bersifat etis, demi kebaikan manusia sendiri.

Padersen pernah mengemukakan pertanyaan, “Bagaimana dengan kehidupan para penulis yang melaksanakan karya besar yang menghabiskan seluruh waktu dan kemampuan mereka?” Menurutnya, kebanyakan diantara mereka menjalani hidupnya dengan perasaan menerima. Bagi mereka, belajar, dan kehidupan intelektual, mempunyai ikatan yang erat dengan agama. Membaktikan diri untuk belajar memberikan kepuasan batin serta merupakan ibadah kepada Tuhan. Hal ini tidak saja membuat para penulis sudi menerima kemiskinan; tetapi lebih dari itu orang lain pun akan terdorong untuk memberikan bantuan bagi mereka. Berbagai macam lembaga memberikan beasiswa yang tak terhingga  di masjid-masjid sebagai imbalan kepada para guru, sehingga kehidupan mereka terjamin. Sumber ini berasal dari bantuan para pemimpin dan orang-orang terkemuka yang secara pribadi memberikan dana untuk ilmuwan-ilmuwan. Ada perasaan dimana orang yang memiliki kekayaan duniawi tak dapat menciptakan ilmu sendiri, maka sebagai Muslim ia merasa berhutang kepada orang-orang pandai yang mengabdikan diri mereka kepada pekerjaan ilmiah. 

Dalam buku Fifty Major Thinkers on Education dikatakan:

The Islamic ideology provided the world, especially in the early days of Islam, with a most powerful source of inspiration. The rich contributions which Islam has made in the various branches of science served as the bases for the development of modern science. Although many earlier Western writers tended to ignore this fact, recent investigators have stressed and recognized the importance of the Muslim contributions in all areas of human endeavour, especially in developing areas of scientific outlook. (“Ideologi Islam telah memberikan dunia, khususnya di awal masa Islam, suatu sumber inspirasi yang sangat kuat. Kontribusi yang begitu kaya yang telah diciptakan oleh Islam dalam beragam cabang sains telah menyediakan basis bagi pengembangan sains modern. Walaupun para penulis Barat yang awal cenderung mengabaikan fakta ini, peneliti sekarang ini telah menekankan dan mengakui arti penting kontribusi Muslim dalam semua wilayah upaya manusia, khususnya dalam membangun wilayah pandangan saintifik”).


6.         Dukungan Sosial Politik

Aktifitas ilmiah menjadi fenomena sosial, bukan hanya terjadi di ruang-ruang perpustakaan dan laboratorium para ilmuwan saja tetapi menjalar di tengah-tengah masyarakat. Pada saat itu masyarakat begitu antusias berada di sekeliling para ulama, ahli tafsir, hadits, fikih, kalam, tasawuf. Mereka juga bersemangat untuk belajar pada ilmuwan sekaliber Ibn Sina yang rumahnya selalu dipenuhi oleh orang-orang yang datang untuk belajar. 

Karena antusias yang besar dari masyarakat maka dengan sendirinya kebutuhan terhadap lembaga pendidikan terus mengalami peningkatan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama jaringan persekolahan telah terlaksana. Di setiap kota dan kampung-kampung telah ada sekolah-sekolah. Pada masa ini lembaga pendidikan yang sangat terkenal diantaranya adalah al-Nizhamiah. Didirikan di kota Baghdad pada tahun 1076 M oleh seorang menteri berasal dari Persia bernama Nizamul Mulk (1018-1092 M). Salah seorang guru yang sangat popular yang pernah mengajar pada Nizamiah ini adalah imam al-Ghazali. Ia mengajar di sini selama empat tahun.

Setelah Nizamiah maka didirikan pula sekolah-sekolah lain. Hingga di Baghdad terdapatlah 30 sekolah. Lalu di  Damsyik terdapat 20 sekolah, Iskandariah 30 sekolah, Mosul 6 sekolah. Tidak terdapat satu kota penting pun tanpa ada sekolah yang didirikan di situ. Corak sekolah-sekolah ini serupa dengan sekolah Nizamiah. Kota-kota lain yang turut menggalakkan sekolah diantaranya Kairo, Nisyapur, Samarkand, Isfahan, Baktra, Aleppo, Ghazni, Lahore dan lainnya.

Wilayah Islam bagian Barat juga tidak ketinggalan majunya dalam pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Diantara perguruan-perguruan itu terdapat Universita Kordoba, Seville, Malaga dan Granada.

Dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan itu maka sejak abad ke-9 hingga 13 M menjadi abad penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang berjalan secara intensif menjangkau keseluruhan umat Islam sehingga terjadi pemerataan ilmu dan pendidikan. Sampai-sampai orang-orang non Islam pun diterima belajar di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Kordoba misalnya, banyak para pelajar Eropa datang untuk belajar di lembaga pendidikan yang ada di kota tersebut tanpa hambatan. Kelak melalui para pelajar  inilah terjadi mata rantai bagi transformasi ilmu ke Eropa yang mendukung terjadinya renaisans.

Sementara itu, pemerintahan Umayyah membiarkan ilmu yang berasal dari dunia Helenistik tumbuh di Syiria: sekolah-sekolah Kristen, Sabian dan Persia di Alexandria, Beirut, Jundishapur, Nisibis, Harran dan Antioch. Dalam hal ini pemerintah memang bersikap toleran, tidak menutup lembaga-lembaga pendidikan asing. Selain itu selama masa pemerintahan Umayyah beberapa karya Yunani telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan praktis saat itu seperti karya-karya kedokteran, logika dan matematika. Namun aktifitas penerjemahan ini belum ditangani secara kelembagaan, dan masih berupa kerja individual.

Pemerintahan Abbasiyah mengikuti jejak Umayyah dalam menggalakkan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Bahkan pada masa ini barulah kegiatan penerjemahan mulai dilakukan secara besar-besaran, yaitu pada masa pemerintahan Al-Manshur dan Harun Al-Rasyid. Puncaknya adalah pada masa al-Makmun (813-833 M) dengan mendirikan Bait al-Hikmah pada tahun 832 M.

Masa penerjemahan berlangsung lama, sekitar 1 abad. Masa yang demikian panjang itu dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Mansur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan logika. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun. Hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang fisafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Hal terpenting dari masa penerjemahan ini adalah bahwa lembaga penerjemah dan semua aktifitasnya betul-betul menjadi pendorong kemajuan ilmu dalam masyarakat Muslim sat itu. Lembaga semacam Bait al-Hikmah dan buku-buku hasil terjemahannya, secara nyata memberikan kontribusi ilmiah, sehingga banyak dari para sarjana dan intelektual Islam mendapatkan sumber-sumber referensi penting bagi pengembangan ilmu. Apalagi lembaga Bait al-Hikmah tidak hanya menjalankan fungsi penerjemahan saja, tetapi juga dilengkapi dengan observatorium dan perpustakaan, suatu fasilitas yang diperlukan bagi kajian-kajian ilmiah. Maka lembaga ini menjadi tempat diskusi dan tukar pendapat dikalangan para ahli, yang karenanya menjadi seperti lembaga perguruan tinggi. Menurut Prof Mahmud Yunus, Bait al-Hikmah disamping merupakan  pusat kegiatan penerjemahan, juga dipenuhi oleh berbagai aktifitas intelektual. Di situ diajarkan ilmu-ilmu agama Islam, Ilmu-imu hikmah, ilmu-ilmu alam, kimia, falak dan lain-lain yang sekarang disebut sains. Bait al-Hikmah dapat dikatakan seperti Fakultas Ilmu atau institut Ilmu.

Kegiatan penerjemahan yang berpusat pada lembaga ini berjalan efektif dan produktif. Hal itu tidak lain  karena sifatnya yang terorganisir, institusional, dan resmi di bawah naungan pemerintah dengan dukungan dana yang memadai sehingga dapat dilakukan secara besar-besaran. Dan selama masa 1 abad penerjemahan, kegiatan berjalan tanpa hambatan sama sekalii—suatu hal yang hanya mungkin dilakukan dengan dukungan kekuasaan.

Karena itu kata Fazlur Rahman, para khalifah Abbasiyah telah mempercepat proses kebangkitan intelektual Islam dengan secara resmi mempelopori dan menjadi pelindung usaha-usaha penerjemahan karya-karya filsafat, kedokteran, dan sains Yunani ke dalam bahasa Arab.

Terutama al-Makmun merupakan penyokong terbesar bagi kemajuan filsafat dan ilmu di sepanjang sejarah umat Islam yang terus bergejolak. Persoalan-persoalan teologi dan flsafat mulai didiskusikan dengan keberanian yang luar biasa, banyak memberi cahaya kepada minat intelektual yang besar dan juga suasana umum yang berlaku pada masa itu.

Adalah wajar bila usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh, besar-besaran, terorganisir dan resmi di bawah naungan khalifah  mencapai momentumnya. Suatu hal yang sulit dicapai bila dilakukan secara perorangan atau kelompok tertentu saja. Bagaimanapun, kekuatan politik dan ekonomi pemerintah memang sangat mendukung dalam mempercepat proses pengembangan ilmu. Itu tidak bisa dipungkiri.

No comments:

Post a Comment